Pada 20-27 September 2019 lalu, jutaan orang di berbagai penjuru dunia mengadakan aksi Jeda untuk Iklim yang diadakan globalclimatestrike.net. Indonesia pun turut menjadi lokasi aksi, di mana ribuan orang di berbagai kota turun ke jalan.
Global Climate Strike adalah sebuah aksi massal untuk menyambut Climate Action Summit yang dilaksanakan oleh PBB pada 23 September 2019. Pada aksi yang dilaksanakan secara global selama tujuh hari tersebut, tuntutan seluruh demonstran seragam, yakni perbaikan aktivitas untuk iklim yang lebih baik.
Dilansir dari Vice, Greta Thunberg, aktivis lingkungan asal Swedia, memulai aksi ini sejak 2018. Saat itu, ia dan kawan-kawannya membolos dari sekolah setiap Jumat. Ia melakukan aksi di depan parlemen Swedia, menuntut tindakan dari Pemerintah Swedia atas pencemaran iklim.
Lambat laun, aksinya membesar dan menjalar ke seluruh dunia. Hingga pada 24 Mei 2019, aksi demonstrasi terbesar dilaksanakan di 130 negara, dengan Thunberg sebagai figur inspirasi.
Alasan dan Penolakan
Thunberg tidak memulai aksi tersebut tanpa alasan. Kekhawatirannya akan perubahan iklim melandasi dirinya melakukan aksi yang akhirnya dilabeli #FridaysForFuture tersebut. Dilansir dari The Conversation, Thunberg memberikan analogi bahwa ‘rumah kita saat ini sedang kebakaran dan Pemadam Kebakaran menghilang’. Menurutnya, Pemerintah dari seluruh dunia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan generasi selanjutnya dari kerusakan iklim.
Thunberg juga menyatakan bahwa manusia terlalu banyak menggunakan bahan bakar minyak untuk kegiatan sehari-hari. Ia juga menyatakan kekhawatiran pada kebakaran hutan yang merusak lingkungan di Indonesia dan Brazil.
Kekhawatiran Thunberg bukan tidak berdasar. Kondisi perubahan iklim sudah mencapai taraf mengkhawatirkan. National Geographic memperkirakan bahwa pada 2050, kondisi cuaca di kota-kota besar seluruh dunia akan berubah secara drastis. Cuaca di London, misalnya, akan menyerupai cuaca Barcelona yang posisi geografisnya berada jauh di selatan. Tidak hanya itu, NASA juga mengingatkan bahwa akan ada banyak efek negatif perubahan iklim, di antaranya memanjangnya musim tanpa es, peningkatan suhu udara, serta makin seringnya kekeringan.
Tidak Percaya
Meskipun begitu, tidak semua orang mendukung Thunberg, bahkan mencelanya. Salah satunya adalah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Dilansir dari Los Angeles Times, Trump menuliskan cuitan di Twitter yang meremehkan pidato Thunberg pada Climate Action Summit. “She seems like a very happy young girl looking forward to a bright and wonderful future. So nice to see!“, cuitnya.
Trump juga pernah menyatakan bahwa ia tidak memercayai perubahan iklim. November 2018 lalu, dilansir dari BBC, Trump menyatakan bahwa ia tidak percaya akan laporan perubahan iklim yang diberikan oleh Fourth National Climate Assessment. Ia juga menyatakan bahwa Tiongkok, Jepang, dan negara-negara Asia yang harus memperbaiki pengolahan energi mereka. Menurutnya, AS sudah mengupayakan penggunaan energi sebersih mungkin dan tidak akan mengubah apapun.
Aksi Jeda untuk Iklim mungkin tidak akan mengubah pikiran Trump, tapi setidaknya aksi yang dimulai oleh Thunberg ini dapat mengingatkan masyarakat dalam cakupan lebih luas. Masyarakat perlu mengingat kembali bahwa Bumi akan ditinggali selamanya, dan jika memang tidak bisa diubah, setidaknya perlu ada usaha untuk memperbaiki iklim.