Perpres Bahasa Indonesia, Memangnya Perlu?

1967

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 mengenai Penggunaan Bahasa Indonesia telah diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 30 September 2019 lalu. Perpres ini mengatur tata dan penggunaan Bahasa Indonesia di muka publik, baik oleh pejabat Negara maupun masyarakat sipil.

Perpres ini menggantikan aturan yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 lalu. Pada perpres sebelumnya, aturan ini hanya berlaku pada pidato-pidato kenegaraan yang dilakukan Presiden baik di dalam maupun luar negeri. Pada Perpres 63/2019 ini, penggunaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional diatur lebih mendalam dan menyelimuti aspek kehidupan bermasyarakat.

Ada di Orde Baru

Perpres ini sebenarnya bukan barang baru. Aturan mengenai penggunaan Bahasa Indonesia pada kehidupan sehari-hari sudah ada bahkan sejak masa pemerintahan Soeharto. Namun, pada masa Orde Baru, penggunaan Bahasa Indonesia cenderung menjadi alat penekan kebebasan berekspresi, terutama bagi kaum minoritas Tionghoa.

Pada masa itu, dilansir dari tirto, penggunaan Bahasa Indonesia mencapai tingkat pelarangan penggunaan nama Tiongkok oleh Pemerintah untuk masyarakat etnis Tionghoa. Seluruh masyarakat yang menggunakan nama selain ‘nama Indonesia’ dipaksa untuk mengganti namanya menjadi ‘nama Indonesia’. Meskipun begitu, tetap ada masyarakat yang menolak, seperti Liem Swie King yang kukuh menggunakan namanya.

Selain masalah nama, tempat usaha milik ‘orang Indonesia’ pun wajib menggunakan bahasa Indonesia. Dilansir dari RRI, hal tersebut diterapkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pada 1995 dan disetujui oleh Presiden Soeharto. Pada saat itu, seluruh nama yang menggunakan bahasa asing wajib diganti dalam waktu tiga hari. Hasilnya, banyak tempat yang mengubah namanya, seperti Plaza Senayan yang menjadi Plasa Senayan dan Jakarta Convention Center yang menjadi Balai Sidang Jakarta. Waralaba seperti Indomart pun mengubah namanya menjadi Indomaret.

Penerapan di Masa Sekarang

Pada Perpres 63/2019 Pasal 33-38, penggunaan Bahasa Indonesia wajib diterapkan pada nama-nama yang muncul ke depan publik, seperti nama jalan, nama usaha, merk dagang, nama lembaga pendidikan, dan nama organisasi. Perubahan ini tentunya akan berdampak besar pada nama-nama yang sudah terdengar akrab di telinga masyarakat, seperti mal-mal dan hotel-hotel.

Tentunya, penerapan Perpres ini akan memakan waktu lama dan biaya yang tidak kecil. Penyesuaian-penyesuaian perlu diterapkan pada tempat-tempat yang sudah telanjur menggunakan nama asing, seperti mal Central Park, mal Senayan City, sekolah Jakarta Intercultural School, dan banyak lainnya. Penyesuaian tersebut tentu akan membingungkan; apakah perlu mengusung nama Taman Sentral, Kota Senayan, atau Sekolah Antarbudaya Jakarta?

Penerapannya pun tidak dijelaskan secara rinci pada Perpres tersebut. Masih banyak pertanyaan yang akan muncul, seperti apakah aturan ini hanya menjadi sekadar aturan tertulis atau akan benar-benar diterapkan? Siapa yang akan menegakkan aturan tersebut? Apakah akan ada badan tersendiri, atau justru akan dilimpahkan pada Kepolisian? Penerapan Perpres yang cenderung terburu-buru ini tentunya perlu dipertimbangkan kembali oleh Presiden.


Comments