Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) ternyata belum juga disahkan dan akan menjadi pekerjaan rumah DPR yang baru. Rancangan undang-undang yang akan melindungi berbagai kalangan dari kejahatan seksual ini tidak mendapat dukungan di DPR. Dilansir dari Liputan6, aktivis Rahayu Saraswati pun menyatakan hanya mukjizat yang bisa melanggengkan langkah RUU PKS.
DPR sendiri masih belum menyetujui beberapa hal di dalam RUU ini. Hal-hal yang masih dibahas tersebut di antaranya adalah nama dan konten dari beberapa pasal. Selain itu, penolakan terhadap RUU PKS, terutama dari partai-partai bernafaskan Islam, dianggap berperan dalam mundurnya penundaan rancangan UU tersebut.
Beberapa pihak, terutama dari faksi Islamis, juga menolak RUU PKS atas berbagai alasan dan kesalahpahaman. Dilansir dari Kompas, kesalahpahaman tersebut misalnya berupa pandangan bahwa RUU tersebut akan membuka jalan menuju Indonesia yang dipenuhi dengan seks bebas. Tidak hanya itu, RUU tersebut juga dilabeli bermacam-macam, mulai dari liberal, tidak sesuai budaya ketimuran, dan melegalkan LGBT.
Kesalahpahaman
Padahal, RUU PKS sendiri berisi pedoman mengenai kekerasan seksual, jenisnya, serta pidana yang dijatuhkan atasnya. Dilansir dari Kumparan, isinya pun mencakup definisi kekerasan seksual, tujuan, pencegahan kekerasan seksual, serta ketentuan mengenai hak korban dan keluarganya.
RUU PKS juga menjadi jawaban atas kegelisahan masyarakat mengenai lemahnya penegakan hukum atas kasus-kasus kekerasan seksual. Seperti yang kita ketahui, paying hukum kekerasan seksual belum juga hadir. Menurut Dinda Nur Annisa Yura, ketua Solidaritas Perempuan, dilansir dari Tribun, tidak kunjung disahkannya RUU tersebut dikhawatirkan akan membawa dampak meningkatnya angka kekerasan seksual.
RUU PKS tak kunjung mendapat restu karena DPR masih mempermasalahkan banyak hal, di antaranya judul RUU. Dilansir dari Tribun, menurut Komisaris Komisi VII DPR, Marwan Dasopang, judul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih ambigu. Kemudian, definisi kekerasan seksual juga masih buram, sehingga apabila dipahami sebaliknya, ditakutkan akan menjadi terlalu bebas definisinya.
Tidak Serius
Masyarakat yang mendukung maupun korban-korban kekerasan seksual sudah tak lagi memiliki harapan atas DPR periode 2014-2019. DPR dianggap tidak serius dalam menangani kasus kekerasan seksual dan lebih mengutamakan hal-hal lain. Padahal, RUU PKS sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2016. Saat ini, masyarakat hanya dapat berharap DPR periode 2019-2024 dapat memahami perasaan dan aspirasi masyarakat, sehingga bisa disahkan secepatnya dan solusi atas tidak adanya payung hukum kekerasan seksual dapat teratasi.