Draft RKUHP: Buku Kesatu (terbaru)

45147

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR… TAHUN…

TENTANG

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa untuk mewujudkan hukum pidana nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu disusun hukum pidana nasional untuk mengganti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda;

b.bahwa hukum pidana nasional tersebut harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; 

c. bahwa materi hukum pidana nasional juga harus mengatur keseimbangan antara kepentingan umum atau negara dan kepentingan individu, antara pelindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia;

d.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama 

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.

 

BUKU KESATU

ATURAN UMUM

 

BAB I

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA 

KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA

 

Bagian Kesatu

Menurut Waktu

 

Pasal 1

(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

(2) Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.

Pasal 2

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

Pasal 3

(1) Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang‑undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang‑undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu Tindak Pidana.

(2) Dalam hal perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan Tindak Pidana menurut peraturan perundang‑undangan yang baru, proses hukum terhadap tersangka atau terdakwa harus dihentikan demi hukum.

(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan bagi tersangka atau terdakwa yang berada dalam tahanan, tersangka atau terdakwa dibebaskan oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.

(4) Dalam hal setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan Tindak Pidana menurut peraturan perundang‑undangan yang baru, pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan.

(5) Dalam hal putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), instansi atau Pejabat yang melaksanakan pembebasan merupakan instansi atau Pejabat yang berwenang.   

(6) Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) tidak menimbulkan hak bagi tersangka, terdakwa, atau terpidana menuntut ganti rugi.

(7) Dalam hal setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang‑undangan yang baru, pelaksanaan putusan pemidanaan disesuaikan dengan batas pidana menurut peraturan perundang‑undangan yang baru.

 

Bagian Kedua

Menurut Tempat

 

Paragraf 1

Asas Wilayah atau Teritorial

 

Pasal 4

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan:

Tindak Pidana  di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Tindak Pidana di Kapal atau di pesawat udara yang berbendera Indonesia; atau

c. Tindak Pidana  di bidang teknologi informasi atau Tindak Pidana  lainnya yang akibatnya dialami atau terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di Kapal dan di pesawat udara berbendera Indonesia.

 

Paragraf 2

Asas Proteksi dan Asas Nasional Pasif 

 

Pasal 5

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan Tindak Pidana  terhadap kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berhubungan dengan:

keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan; 

martabat Presiden, Wakil Presiden, dan/atau Pejabat Indonesia di luar negeri; 

mata uang, segel, cap negara, meterai, atau surat berharga yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, atau kartu kredit yang dikeluarkan oleh perbankan Indonesia;

perekonomian, perdagangan, dan perbankan Indonesia; 

keselamatan atau keamanan pelayaran dan penerbangan; 

keselamatan atau keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional atau negara Indonesia; 

keselamatan atau keamanan sistem komunikasi elektronik;

kepentingan nasional Indonesia sebagaimana  ditetapkan dalam Undang-Undang; atau

warga negara Indonesia berdasarkan perjanjian internasional dengan negara tempat terjadinya tindak pidana.

 

Paragraf 3

Asas Universal

 

Pasal 6

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan Tindak Pidana menurut hukum internasional yang telah ditetapkan sebagai Tindak Pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia.

Pasal 7

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang penuntutannya diambil alih oleh Pemerintah Indonesia atas dasar suatu perjanjian internasional yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan penuntutan pidana.

 

Paragraf 4

Asas Nasional Aktif

 

Pasal 8

(1) Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan Tindak Pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku jika perbuatan tersebut juga merupakan Tindak Pidana di negara tempat Tindak Pidana dilakukan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Tindak Pidana yang hanya diancam pidana denda kategori III.

(4) Penuntutan terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan walaupun tersangka menjadi warga negara Indonesia, setelah Tindak Pidana tersebut dilakukan sepanjang perbuatan tersebut merupakan Tindak Pidana di negara tempat Tindak Pidana dilakukan.

(5) Warga negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijatuhi pidana mati jika Tindak Pidana tersebut menurut hukum negara tempat Tindak Pidana tersebut dilakukan tidak diancam dengan pidana mati. 

 

Paragraf 5

Pengecualian

 

Pasal 9

Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan menurut hukum internasional yang telah disahkan.

 

Bagian Ketiga

Waktu Tindak Pidana

 

Pasal 10

Waktu tindak merupakan saat dilakukannya perbuatan yang dapat dipidana.

 

Bagian Keempat

Tempat Tindak Pidana

 

Pasal 11

Tempat Tindak Pidana merupakan tempat dilakukannya perbuatan yang dapat dipidana.

 

BAB II

TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

 

Bagian Kesatu

Tindak Pidana

 

Paragraf 1

Umum

 

Pasal 12

(1) Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan.

(2) Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang diancam sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

(3) Setiap Tindak Pidana  selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.   

 

Paragraf 2

Permufakatan Jahat

 

Pasal 13

(1) Permufakatan jahat terjadi jika 2 (dua) orang atau lebih bersepakat untuk melakukan Tindak Pidana.

(2) Permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana dipidana jika ditentukan secara tegas dalam Undang‑Undang.

(3) Pidana untuk permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

(4) Permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana  yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. 

(5) Pidana tambahan untuk permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

Pasal 14

Permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana tidak dipidana jika pelaku:

menarik diri dari kesepakatan itu; atau 

b. melakukan tindakan yang patut untuk mencegah terjadinya Tindak Pidana.

 

Paragraf 3

Persiapan

 

Pasal 15

Persiapan melakukan Tindak Pidana terjadi jika pelaku berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana berupa alat, mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan, atau melakukan tindakan serupa yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian Tindak Pidana.

Persiapan melakukan Tindak Pidana dipidana jika ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang. 

Pidana untuk persiapan melakukan Tindak Pidana paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

Persiapan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. 

Pidana tambahan untuk persiapan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

Pasal 16

Persiapan melakukan Tindak Pidana  tidak dipidana jika pelaku menghentikan atau mencegah kemungkinan digunakan sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1).

 

Paragraf 4

Percobaan

 

Pasal 17

Percobaan melakukan Tindak Pidana  terjadi jika niat pelaku telah nyata dari adanya  permulaan pelaksanaan dari Tindak Pidana  yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai, tidak mencapai hasil, atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri.

Permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi jika:

perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan untuk terjadinya Tindak Pidana; dan

perbuatan yang dilakukan langsung berpotensi menimbulkan Tindak Pidana yang dituju.

Pidana untuk percobaan melakukan Tindak Pidana  paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana  yang bersangkutan.

Percobaan melakukan Tindak Pidana yang diancamkan dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. 

Pidana tambahan untuk percobaan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

Pasal 18

(1) Pelaku tidak dipidana jika setelah melakukan permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1):

a. tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela; atau

b. dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya.

(2) Dalam hal perbuatan  sebagaimana dimaksud  pada  ayat (1) telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang‑undangan telah merupakan Tindak Pidana tersendiri, pelaku dapat dipertanggungjawabkan untuk Tindak Pidana tersebut.                         

Pasal 19

Percobaan melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II tidak dipidana.

Paragraf 5

Penyertaan

 

Pasal 20

Setiap Orang dipidana sebagai pelaku Tindak Pidana jika:

melakukan sendiri Tindak Pidana;

melakukan Tindak Pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;

turut serta melakukan Tindak Pidana; atau

d. menggerakkan orang lain supaya melakukan Tindak Pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan Kekerasan, menggunakan Ancaman Kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.

Pasal 21

(1) Setiap Orang dipidana sebagai pembantu Tindak Pidana jika dengan sengaja:

memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan Tindak Pidana; atau

memberi bantuan pada waktu Tindak Pidana dilakukan. 

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan terhadap Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II.

(3) Pidana untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

 (4) Pembantuan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. 

(5) Pidana tambahan untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

Pasal 22

Keadaan pribadi pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 atau pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat menghapus, mengurangi, atau memperberat pidananya.

 

Paragraf 6

Pengulangan

 

Pasal 23

Pengulangan Tindak Pidana terjadi jika seseorang:

melakukan Tindak Pidana kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau 

pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa.

Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimal khusus, pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, atau pidana denda paling sedikit kategori III.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku untuk Tindak Pidana mengenai penganiayaan.

 

Paragraf 7

Tindak Pidana Aduan

 

Pasal 24

Dalam hal tertentu, pelaku Tindak Pidana hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan.

Tindak Pidana aduan harus ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang.

Pasal 25

Dalam hal korban Tindak Pidana aduan belum berusia 16 (enam belas) tahun, yang berhak mengadu merupakan Orang Tua atau walinya.

(2) Dalam hal Orang Tua atau wali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau Orang Tua atau wali itu sendiri yang harus diadukan, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis lurus.

(3) Dalam hal keluarga sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.

(4) Dalam hal Anak tidak memiliki Orang Tua, wali, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas ataupun menyamping sampai derajat ketiga, pengaduan dilakukan oleh diri sendiri dan/atau pendamping.

Pasal 26

(1) Dalam hal korban Tindak Pidana aduan berada di bawah pengampuan, yang berhak mengadu merupakan pengampunya, kecuali bagi korban Tindak Pidana aduan yang berada dalam pengampuan karena boros.

(2) Dalam hal pengampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau pengampu itu sendiri yang harus diadukan, pengaduan dilakukan oleh suami atau istri korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus.

(3) Dalam hal suami atau istri korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.

Pasal 27

Dalam hal korban Tindak Pidana aduan meninggal dunia, pengaduan dapat dilakukan oleh Orang Tua, anak, suami, atau istri korban, kecuali jika korban sebelumnya secara tegas tidak menghendaki adanya penuntutan.

Pasal 28

(1) Pengaduan dilakukan dengan cara menyampaikan pemberitahuan dan permohonan untuk dituntut.

(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara lisan atau tertulis kepada Pejabat yang berwenang.

Pasal 29

(1) Pengaduan harus diajukan dalam tenggang waktu:

a. enam Bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya Tindak Pidana jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau

b. sembilan Bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya Tindak Pidana jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 (2) Jika yang berhak mengadu lebih dari seorang, tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak pengadu masing‑masing mengetahui adanya Tindak Pidana.

Pasal 30

(1) Pengaduan dapat ditarik kembali oleh pengadu dalam waktu 3 (tiga) Bulan terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan.

(2) Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi.

 

Paragraf 8

Alasan Pembenar

 

Pasal 31

Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana jika perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

Pasal 32

Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana jika perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan perintah jabatan dari Pejabat yang berwenang.

Pasal 33

Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana jika perbuatan tersebut dilakukan karena keadaan darurat.

Pasal 34

Setiap Orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana jika perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan terhadap serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, serta kehormatan dalam arti kesusilaan atau harta benda sendiri atau orang lain.

Pasal 35

Ketiadaan sifat melawan hukum dari Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) merupakan alasan pembenar.

 

Bagian Kedua

Pertanggungjawaban Pidana

 

Pasal 36

(1) Bagi Tindak Pidana tertentu, Undang‑Undang dapat menentukan bahwa Setiap Orang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur Tindak Pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, Setiap Orang dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan oleh orang lain.

Pasal 37

(1) Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.

(2) Perbuatan yang dapat dipidana merupakan Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan Tindak Pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat dipidana jika secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang‑undangan.

Pasal 38

Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menderita disabilitas mental yang dalam keadaan eksaserbasi akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.

Pasal 39

Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pidananya dapat dikurangi dan dikenai tindakan.

Pasal 40

Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada waktu melakukan Tindak Pidana belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun.

Pasal 41

Dalam hal anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan Tindak Pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk:  

menyerahkan kembali kepada Orang Tua/wali; atau  

mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) Bulan.

Pasal 42

Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana tidak dipidana karena:

dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau   

b. dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari.

Pasal 43

Setiap Orang yang melakukan pembelaan karena terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum tidak dipidana.

Pasal 44

Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan itikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkup pekerjaannya. 

Pasal 45

Selain alasan pemaafan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44, yang termasuk juga alasan pemaafan merupakan:

terjadi disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau

belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.

Pasal 46

(1) Korporasi merupakan subjek Tindak Pidana.

(2) Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 47

Tindak Pidana oleh Korporasi merupakan Tindak Pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi, yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.

Pasal 48

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Tindak Pidana oleh Korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan Korporasi.

Pasal 49

Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan Pasal 48 dapat dipertanggungjawabkan, jika:

termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi Korporasi;

menguntungkan Korporasi secara melawan hukum; dan

diterima sebagai kebijakan Korporasi.

Pasal 50

Pertanggungjawaban atas Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dikenakan terhadap Korporasi, pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat Korporasi.

Pasal 51

Alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi dapat juga diajukan oleh Korporasi sepanjang alasan tersebut berhubungan langsung dengan Tindak Pidana yang didakwakan kepada Korporasi.

 

BAB III

PEMIDANAAN, PIDANA, DAN TINDAKAN

 

Bagian Kesatu

Tujuan dan Pedoman Pemidanaan

 

Paragraf 1

Tujuan Pemidanaan

 

Pasal 52

Pemidanaan bertujuan:

mencegah dilakukannya  Tindak  Pidana  dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia.

 

Paragraf 2

Pedoman Pemidanaan

 

Pasal 53

(1) Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan.

(2) Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.

Pasal 54

(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: kesalahan pelaku Tindak Pidana; motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana; sikap batin pelaku Tindak Pidana; Tindak Pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan; cara melakukan Tindak Pidana; sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana; riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku Tindak Pidana; pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana; pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban; pemaafan dari Korban dan/atau keluarganya; dan/atau nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Pasal 55

Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan peniadaan pidana jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan peniadaan pidana tersebut.

Pasal 56

Dalam pemidanaan terhadap Korporasi wajib dipertimbangkan:

  • tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan;
  • tingkat keterlibatan pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional Korporasi dan/atau peran pemberi perintah, pemegang kendali, pemberi perintah, dan/atau pemilik manfaat Korporasi;
  • lamanya Tindak Pidana yang telah dilakukan;
  • frekuensi Tindak Pidana oleh Korporasi;
  • bentuk kesalahan Tindak Pidana;
  • keterlibatan Pejabat;
  • nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;
  • rekam jejak Korporasi dalam melakukan usaha atau kegiatan;
  • pengaruh pemidanaan terhadap Korporasi; dan/atau
  • kerja sama Korporasi dalam penanganan Tindak Pidana.

 

Paragraf 3

Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan

Tunggal dan Perumusan Alternatif

 

Pasal 57

Dalam hal suatu Tindak Pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan jika hal itu dipertimbangkan telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.

 

Paragraf 4

Pemberatan Pidana

 

Pasal 58

Faktor yang memperberat pidana meliputi:

Pejabat yang melakukan Tindak Pidana sehingga melanggar kewajiban jabatan yang khusus atau melakukan Tindak Pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan; 

penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan Tindak Pidana; atau

pengulangan Tindak Pidana.

Pasal 59

Pidana untuk pemberatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dapat ditambah paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana.

 

Paragraf 5

Ketentuan Lain tentang Pemidanaan

 

Pasal 60

Pidana penjara dan pidana tutupan bagi terpidana yang sudah berada dalam tahanan mulai berlaku pada saat putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi terpidana yang tidak berada di dalam tahanan, pidana tersebut berlaku pada saat putusan mulai dilaksanakan.

Pasal 61

(1) Pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana denda yang dijatuhkan dikurangi seluruh atau sebagian masa penangkapan dan/atau penahanan yang telah dijalani terdakwa sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Pengurangan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disepadankan dengan penghitungan pidana penjara pengganti denda. 

Pasal 62

(1) Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.

(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara permohonan grasi diatur dalam Undang-Undang.

Pasal 63

Jika narapidana melarikan diri, masa selama narapidana melarikan diri tidak diperhitungkan sebagai waktu menjalani pidana penjara.

 

Bagian Kedua

Pidana dan Tindakan

 

Paragraf 1

Pidana

 

Pasal 64

Pidana terdiri atas:

a. pidana pokok; 

b. pidana tambahan; dan

c. pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.

Pasal 65

(1) Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a terdiri atas:

pidana penjara;

pidana tutupan;

pidana pengawasan; 

pidana denda; dan    

pidana kerja sosial.

(2)  Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat atau ringannya pidana.

Pasal 66

(1) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b terdiri atas:

a. pencabutan hak tertentu;

b. perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan; 

c. pengumuman putusan hakim;

d. pembayaran ganti rugi; 

e. pencabutan izin tertentu; dan

f. pemenuhan kewajiban adat setempat. 

(2) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan dalam hal penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan.

(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan 1 (satu) jenis atau lebih.

(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidananya.

(5) Pidana tambahan bagi Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan Tindak Pidana dalam perkara koneksitas dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.

Pasal 67

Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif.

Pasal 68

(1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu.  

(2) Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut‑turut atau paling singkat 1 (satu) Hari, kecuali ditentukan minimum khusus.

(3) Dalam hal terdapat pilihan antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau terdapat pemberatan pidana atas Tindak Pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun, pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut‑turut.

(4) Pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 69

(1) Jika narapidana seumur hidup telah menjalani pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) tahun, pidana seumur hidup dapat diubah menjadi pidana penjara 20 (dua puluh) tahun dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

(2) Ketentuan mengenai tata cara perubahan pidana seumur hidup menjadi pidana penjara 20 (dua puluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 70

(1) Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan:

terdakwa adalah Anak;

terdakwa berusia di atas 75 (tujuh puluh) tahun;

terdakwa baru pertama kali melakukan Tindak Pidana;

kerugian dan penderitaan Korban tidak terlalu besar;

terdakwa telah membayar ganti rugi kepada Korban;

terdakwa tidak menyadari bahwa Tindak Pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;

tindak  pidana  terjadi  karena  hasutan yang sangat kuat dari orang lain;

Korban  tindak  pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya Tindak Pidana tersebut;

tindak  pidana  tersebut  merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;

kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan Tindak Pidana yang lain;

pidana  penjara  akan  menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;

pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa;

penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat Tindak Pidana yang dilakukan terdakwa;

Tindak Pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/atau

Tindak Pidana terjadi karena kealpaan.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, diancam dengan pidana minimum khusus, atau Tindak Pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat, atau merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Pasal 71

(1) Jika seseorang melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara di bawah 5 (lima) tahun, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 54, orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda.

(2) Pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dijatuhkan jika:

tanpa Korban;

Korban tidak mempermasalahkan; atau

bukan pengulangan Tindak Pidana.

(3) Pidana denda yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana denda paling banyak menurut kategori V dan pidana denda paling sedikit menurut kategori III.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak berlaku bagi orang yang pernah dijatuhi pidana penjara untuk Tindak Pidana yang dilakukan sebelum berumur 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 72

(1) Narapidana yang telah menjalani paling singkat 2/3 (dua per tiga) dari pidana penjara  yang dijatuhkan dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) Bulan dapat diberi pembebasan bersyarat. 

(2) Terpidana yang menjalani beberapa pidana penjara berturut‑turut dianggap jumlah pidananya sebagai 1 (satu) pidana.

(3) Dalam memberikan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan masa percobaan dan syarat yang harus dipenuhi  selama masa percobaan. 

(4) Masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sama  dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan 1 (satu) tahun.

(5) Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditahan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara lain tidak diperhitungkan waktu penahanannya sebagai masa percobaan.

Pasal 73

(1) Syarat yang  harus  dipenuhi  selama  masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (3) terdiri atas:

a. syarat umum berupa narapidana tidak akan melakukan Tindak Pidana; dan 

b. syarat khusus berupa narapidana harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan berpolitik, kecuali ditentukan lain oleh hakim.

(2) Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diubah, dihapus, atau diadakan syarat baru yang semata‑mata bertujuan untuk pembimbingan narapidana.

(3) Narapidana yang melanggar syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dicabut pembebasan bersyaratnya.

(4) Pembebasan bersyarat tidak dapat dicabut setelah melampaui 3 (tiga) Bulan terhitung sejak saat habisnya masa percobaan kecuali dalam waktu 3 (tiga) Bulan terhitung sejak habisnya masa percobaan narapidana dituntut karena melakukan Tindak Pidana yang dilakukan dalam masa percobaan.

(5) Dalam hal narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dijatuhi pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana denda paling sedikit kategori III, pembebasan bersyarat dicabut.

Pasal 74

(1) Orang  yang  melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara karena keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan.

(2) Pidana  tutupan   sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) dapat  dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan Tindak Pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku jika cara melakukan atau akibat dari Tindak Pidana tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara.

Pasal 75

Terdakwa yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dapat dijatuhi pidana pengawasan dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal 54, dan Pasal 70.

Pasal 76

Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dijatuhkan paling lama sama dengan pidana penjara yang diancamkan yang tidak lebih dari 3 (tiga) tahun. 

Dalam putusan pidana pengawasan ditetapkan syarat umum, berupa terpidana tidak akan melakukan Tindak Pidana lagi.

Selain syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam putusan juga dapat ditetapkan syarat khusus, berupa:

terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul akibat Tindak Pidana yang dilakukan; dan/atau 

terpidana harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. 

Dalam hal terpidana melanggar syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana wajib menjalani pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari ancaman pidana penjara bagi Tindak Pidana itu.

Dalam hal terpidana melanggar syarat khusus tanpa alasan yang sah, jaksa berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan mengusulkan kepada hakim agar terpidana menjalani pidana penjara  atau memperpanjang masa pengawasan yang ditentukan oleh hakim yang lamanya tidak lebih dari pidana pengawasan yang dijatuhkan.

Jaksa dapat mengusulkan pengurangan masa pengawasan kepada hakim jika  selama  dalam  pengawasan  terpidana  menunjukkan  kelakuan yang baik, berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan.

Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara dan batas pengurangan dan perpanjangan masa pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 77

(1) Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan Tindak Pidana dan dijatuhi pidana  yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, pidana pengawasan tetap dilaksanakan.

(2) Jika terpidana dijatuhi pidana penjara, pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.

Pasal 78

Pidana denda merupakan sejumlah uang yang wajib dibayar oleh  terpidana berdasarkan putusan pengadilan.

Jika tidak ditentukan minimum khusus, pidana denda ditetapkan paling sedikit  Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).

Pasal 79

Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:

kategori I Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);

kategori II   Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); 

kategori III  Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); 

kategori IV Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); 

kategori V Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); 

kategori VI  Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); 

kategori VII  Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan

kategori VIII Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 80

(1) Dalam menjatuhkan pidana denda, hakim wajib mempertimbangkan kemampuan terdakwa dengan memperhatikan penghasilan dan pengeluaran terdakwa secara nyata.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi penerapan minimum khusus pidana denda yang ditetapkan.

Pasal 81

Pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam putusan pengadilan.

Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menentukan pembayaran pidana denda dengan cara mengangsur.

Jika pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar dalam jangka waktu yang telah ditentukan, kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar.

Pasal 82

(1) Jika penyitaan dan pelelangan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda yang tidak dibayar tersebut diganti dengan pidana penjara, pidana pengawasan, atau pidana kerja sosial dengan ketentuan pidana denda tersebut tidak melebihi pidana denda kategori II.

(2) Lama pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 

a. untuk pidana penjara pengganti, paling singkat 1 (satu) Bulan dan paling lama 1 (satu) tahun yang dapat diperberat paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) Bulan jika ada pemberatan pidana denda karena perbarengan;

b. untuk pidana pengawasan pengganti, paling singkat 1 (satu) Bulan dan paling lama 1 (satu) tahun, berlaku syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dan ayat (3); atau

c. untuk pidana kerja sosial pengganti paling singkat 8 (delapan) jam dan paling lama 240 (dua ratus empat puluh) jam.

(3) Jika pada saat menjalani pidana pengganti sebagian pidana denda dibayar, lama pidana pengganti dikurangi menurut ukuran yang sepadan.

(4) Perhitungan lama pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada ukuran untuk setiap pidana denda Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) atau kurang yang disepadankan dengan:

satu jam pidana kerja sosial pengganti; atau

satu Hari pidana pengawasan atau pidana penjara pengganti.

Pasal 83

Jika penyitaan dan pelelangan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) tidak dapat dilakukan, pidana denda di atas kategori II yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama sebagaimana diancamkan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) berlaku juga untuk ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang mengenai pidana penjara pengganti.

Pasal 84

Setiap Orang yang telah berulang kali dijatuhi pidana denda untuk Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II dapat dijatuhi pidana pengawasan paling lama 6 (enam) Bulan dan pidana denda yang diperberat paling banyak 1/3 (satu per tiga).

Pasal 85

(1) Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

(2) Dalam menjatuhkan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib mempertimbangkan:

pengakuan terdakwa terhadap Tindak Pidana yang dilakukan;

kemampuan kerja terdakwa; 

persetujuan terdakwa  sesudah  dijelaskan  mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;

riwayat sosial terdakwa;

pelindungan keselamatan kerja terdakwa;

keyakinan agama dan politik terdakwa; dan

kemampuan terdakwa membayar pidana denda.

(3) Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan.

(4) Pidana kerja sosial dijatuhkan paling singkat  8 (delapan) jam dan paling lama 240 (dua ratus empat puluh) jam.

(5) Pidana kerja sosial dilaksanakan paling lama 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) Hari dan dapat diangsur dalam waktu paling lama 6 (enam) Bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat.

(6) Pelaksanaan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dimuat dalam putusan pengadilan.

 (7) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) juga memuat perintah jika terpidana tanpa alasan yang sah tidak melaksanakan seluruh atau sebagian pidana kerja sosial, terpidana wajib:

a. mengulangi  seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut; 

b. menjalani seluruh  atau  sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau

c. membayar  seluruh  atau  sebagian  pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayar. 

(8) Pengawasan terhadap pelaksanaan pidana kerja sosial dilakukan oleh jaksa dan pembimbingan dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.

(9) Putusan pengadilan mengenai pidana kerja sosial juga harus memuat:

lama pidana penjara atau besarnya denda yang sesungguhnya dijatuhkan oleh hakim;

lama pidana kerja sosial harus dijalani, dengan mencantumkan jumlah jam per Hari dan jangka waktu penyelesaian pidana kerja sosial; dan

sanksi jika terpidana tidak menjalani pidana kerja sosial yang dijatuhkan.

Pasal 86

Pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a dapat berupa:

a. hak memegang jabatan publik pada umumnya atau jabatan tertentu;

b. hak menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 

c. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan; 

d. hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas orang yang bukan Anaknya sendiri; 

e. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian, atau mengampu atas Anaknya sendiri; 

f. hak menjalankan profesi tertentu; dan/atau

g. hak memperoleh pembebasan bersyarat.

Pasal 87

Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang, pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f hanya dapat dilakukan jika pelaku dipidana karena melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berupa:

a. Tindak Pidana terkait jabatan atau Tindak Pidana yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan; 

b. Tindak Pidana yang terkait dengan profesinya; atau

c. Tindak Pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan atau profesinya.

Pasal 88

Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang, pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf d dan huruf e, hanya dapat dilakukan jika pelaku dipidana karena:

a. dengan sengaja melakukan  Tindak Pidana bersama‑sama dengan Anak yang berada dalam kekuasaannya; atau

b. melakukan Tindak Pidana terhadap Anak yang berada dalam kekuasaannya. 

Pasal 89

Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang, pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf g hanya dapat dilakukan jika pelaku dipidana karena:

a. melakukan Tindak Pidana jabatan atau Tindak Pidana yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan; 

b. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan; atau

c. melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau lebih.

Pasal 90

(1) Jika pidana pencabutan hak dijatuhkan, lama pencabutan wajib ditentukan jika:

a. dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup, pencabutan hak dilakukan untuk selamanya; 

b. dijatuhi pidana penjara, pidana tutupan, atau  pidana pengawasan untuk waktu tertentu, pencabutan hak dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokok yang dijatuhkan; atau

c. dijatuhi pidana denda, pencabutan hak dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun. 

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku jika yang dicabut adalah hak memperoleh pembebasan bersyarat.

(3) Pidana pencabutan hak mulai berlaku pada tanggal putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 91

Pidana tambahan berupa perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b yang dapat dirampas meliputi Barang tertentu dan/atau tagihan:

a. yang dipergunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan Tindak Pidana;

b. yang khusus dibuat atau diperuntukkan mewujudkan Tindak Pidana;

c. yang berhubungan dengan terwujudnya Tindak Pidana;

d. milik terpidana atau orang lain yang diperoleh dari Tindak Pidana;

e. dari keuntungan ekonomi yang diperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung dari Tindak Pidana; dan/atau

f. yang dipergunakan untuk menghalang‑halangi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pasal 92

(1) Pidana tambahan berupa perampasan Barang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dapat dijatuhkan atas Barang yang tidak disita dengan menentukan bahwa Barang tersebut harus diserahkan atau diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran hakim sesuai dengan harga pasar.

(2) Dalam hal Barang yang tidak disita tidak dapat diserahkan, diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran hakim sesuai dengan harga pasar.

(3) Jika terpidana tidak mampu membayar seluruh atau sebagian harga pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diberlakukan ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.

Pasal 93

(1) Jika dalam putusan pengadilan diperintahkan supaya putusan diumumkan, harus ditetapkan cara melaksanakan pengumuman tersebut dengan biaya yang ditanggung oleh terpidana.

(2) Jika biaya pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar oleh terpidana, diberlakukan ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.

Pasal 94

(1) Dalam putusan pengadilan dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti rugi kepada Korban atau ahli waris sebagai pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d.

(2) Jika kewajiban pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, diberlakukan ketentuan tentang pelaksanaan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 sampai dengan Pasal 83 secara mutatis mutandis.

Pasal 95

(1) Pidana tambahan berupa pencabutan izin dikenakan kepada pelaku dan pembantu Tindak Pidana yang melakukan Tindak Pidana yang berkaitan dengan izin yang dimiliki.

(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:

a. keadaan yang menyertai Tindak Pidana yang dilakukan; 

b. keadaan yang menyertai pelaku dan pembantu Tindak Pidana; dan

c. keterkaitan kepemilikan izin dengan usaha atau kegiatan yang dilakukan. 

Dalam hal dijatuhi pidana penjara, pidana tutupan, atau pidana pengawasan untuk waktu tertentu, pencabutan izin dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokok yang dijatuhkan.

Dalam hal dijatuhi pidana denda, pencabutan izin berlaku paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.

Pidana pencabutan izin mulai berlaku pada tanggal putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 96

(1) Pidana tambahan berupa Pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan, jika Tindak Pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

(2) Pemenuhan kewajiban adat setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana.

(3) Pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga berupa pidana ganti kerugian.

Pasal 97

Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan Tindak Pidana dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 2 ayat (2).

Pasal 98

Pidana mati dijatuhkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.

Pasal 99

(1) Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.

(2) Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.

(3) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam Undang-Undang.

(4) Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil, wanita yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan, wanita tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Pasal 100

(1) Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika:

terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; 

peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau 

ada alasan yang meringankan.

(2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

(3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

(4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

(5) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang  terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pasal 101

Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Pasal 102

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dengan Undang-Undang.

 

Paragraf 2

Tindakan

 

Pasal 103

(1) Tindakan yang dapat dikenakan bersama‑sama dengan pidana pokok berupa:

konseling;

rehabilitasi;

pelatihan kerja;

perawatan di lembaga; dan/atau

perbaikan akibat Tindak Pidana.

(2) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 berupa:

rehabilitasi;

penyerahan kepada seseorang;

perawatan di lembaga;  

penyerahan kepada pemerintah; dan/atau

perawatan di rumah sakit jiwa.

(3) Jenis, jangka waktu, tempat, dan/atau pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam putusan pengadilan.

Pasal 104

Dalam menjatuhkan putusan berupa tindakan, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 54.

Pasal 105

(1) Dalam mengenakan tindakan pelatihan kerja, hakim wajib mempertimbangkan:

a. kemanfaatan bagi terdakwa;

b. kemampuan terdakwa; dan 

c. jenis pelatihan kerja.

(2) Dalam menentukan jenis latihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, hakim wajib memperhatikan latihan kerja atau pengalaman kerja dan tempat tinggal terdakwa.

Pasal 106

(1) Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada terdakwa yang:

kecanduan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau 

menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual.

(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. rehabilitasi medis; dan

b. rehabilitasi psikososial.

Pasal 107

Tindakan perawatan di lembaga dikenakan berdasarkan keadaan pribadi terdakwa serta demi kepentingan terdakwa dan masyarakat.

Pasal 108

(1) Tindakan berupa perawatan di rumah sakit jiwa dikenakan terhadap terdakwa yang dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan masih dianggap berbahaya berdasarkan hasil penilaian dokter jiwa.

(2) Penghentian tindakan perawatan di rumah sakit jiwa dilakukan jika yang bersangkutan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut berdasarkan hasil penilaian dokter jiwa.

(3) Penghentian tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan penetapan hakim yang memeriksa perkara pada tingkat pertama yang diusulkan oleh jaksa.

Pasal 109

Tindakan penyerahan terdakwa kepada pemerintah atau seseorang dikenakan demi kepentingan terdakwa dan masyarakat.

Pasal 110

Tindakan perbaikan akibat Tindak Pidana adalah upaya memulihkan atau memperbaiki kerusakan akibat Tindak Pidana seperti semula. 

Pasal 111

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana dan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 110 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Ketiga

Diversi, Tindakan, dan Pidana bagi Anak

 

Paragraf 1

Diversi

Pasal 112

(1) Anak yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan Tindak Pidana wajib diupayakan diversi;

(2) Tata cara diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Undang-Undang.

 

Paragraf 2

Tindakan

 

Pasal 113

Setiap Anak dapat dikenai tindakan berupa:

pengembalian kepada Orang Tua/wali; 

penyerahan kepada seseorang; 

perawatan di rumah sakit jiwa; 

perawatan di lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang kesejahteraan sosial;

kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; 

pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau 

perbaikan akibat Tindak Pidana.

Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun.

Anak di bawah usia 14 (empat belas) tahun tidak dapat dijatuhi pidana dan hanya dapat dikenai tindakan.

 

Paragraf 3

Pidana

 

Pasal 114

Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap Anak berupa:

pidana pokok; dan

b. pidana tambahan.

Pasal 115

Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf a terdiri atas: 

pidana peringatan; 

pidana dengan syarat: 

pembinaan di luar lembaga;

pelayanan masyarakat; atau

pengawasan.

pelatihan kerja; 

pembinaan dalam lembaga; dan 

penjara. 

Pasal 116

Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf b terdiri atas: 

perampasan keuntungan yang diperoleh dari Tindak Pidana; atau 

b. pemenuhan kewajiban adat.

Pasal 117

Ketentuan mengenai diversi, tindakan, dan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 sampai dengan Pasal 116 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Keempat

Pidana dan Tindakan Bagi Korporasi

 

Paragraf 1

Pidana

 

Pasal 118

Pidana bagi Korporasi terdiri atas:

a. pidana pokok; dan

b. pidana tambahan. 

Pasal 119

Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 huruf a adalah pidana denda.

Pasal 120

(1) Pidana tambahan bagi Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 huruf b terdiri atas:

a. pembayaran ganti rugi;

b. perbaikan akibat Tindak Pidana;

c. pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan;

d. pemenuhan kewajiban adat.

e. pembiayaan pelatihan kerja;

f. perampasan Barang atau keuntungan yang diperoleh dari Tindak Pidana;

g. pengumuman putusan pengadilan;

h. pencabutan izin tertentu; 

i. pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;

j. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan Korporasi;

k. pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha Korporasi; dan

l. pembubaran Korporasi.

(2) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, huruf j, dan huruf k dijatuhkan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun. 

(3) Dalam hal Korporasi tidak melaksanakan pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e, kekayaan atau pendapatan Korporasi dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk memenuhi pidana tambahan yang tidak dipenuhi.

Pasal 121

(1) Pidana denda untuk Korporasi paling sedikit kategori IV, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.

(2) Dalam hal Tindak Pidana yang dilakukan diancam dengan:

a. pidana penjara  di bawah 7 (tujuh) tahun, pidana denda paling banyak untuk Korporasi adalah kategori VI;

b. pidana penjara paling lama 7 (tujuh) sampai dengan paling lama 15 (lima belas) tahun, pidana denda paling banyak untuk Korporasi adalah kategori VII;

c. pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana denda paling banyak untuk Korporasi adalah kategori VIII.

Pasal 122

(1) Pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam putusan pengadilan.

(2) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menentukan pembayaran pidana denda dengan cara mengangsur.

(3) Jika pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar dalam jangka waktu yang telah ditentukan, kekayaan atau pendapatan Korporasi dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar.

(4) Dalam hal kekayaan atau pendapatan Korporasi tidak mencukupi untuk melunasi pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Korporasi dikenakan pidana pengganti berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi.

 

Paragraf 2

Tindakan

 

Pasal 123

Tindakan yang dapat dikenakan bagi Korporasi:

pengambilalihan Korporasi; 

pembiayaan pelatihan kerja; 

penempatan di bawah pengawasan; dan/atau

penempatan Korporasi di bawah pengampuan.

Pasal 124

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana dan tindakan bagi Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 sampai dengan Pasal 123 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kelima

Perbarengan

 

Pasal 125

(1) Suatu perbuatan yang memenuhi lebih dari satu ketentuan pidana yang diancam dengan ancaman pidana yang sama hanya dijatuhi satu pidana, sedangkan jika ancaman pidananya berbeda dijatuhi pidana pokok yang paling berat.

(2) Suatu perbuatan yang diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus hanya dijatuhi aturan pidana khusus, kecuali Undang-Undang menentukan lain.

Pasal 126

(1) Jika terjadi perbarengan beberapa Tindak Pidana yang saling berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut dan diancam dengan ancaman pidana yang sama, hanya dijatuhkan 1 (satu) pidana.

(2) Jika perbarengan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan pidana yang berbeda, hanya dijatuhkan pidana pokok yang terberat.

Pasal 127

(1) Jika terjadi perbarengan beberapa Tindak Pidana yang harus dipandang sebagai Tindak Pidana yang berdiri sendiri dan diancam dengan pidana pokok yang sejenis, hanya dijatuhkan 1 (satu) pidana.

(2) Maksimum pidana untuk perbarengan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah pidana yang diancamkan pada semua Tindak Pidana tersebut, tetapi tidak melebihi pidana yang terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).

Pasal 128

(1) Jika terjadi perbarengan beberapa Tindak Pidana yang harus dipandang sebagai Tindak Pidana yang berdiri sendiri dan diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, pidana yang dijatuhkan adalah semua jenis pidana untuk Tindak Pidana masing-masing, tetapi tidak melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).

(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam pidana denda, penghitungan denda didasarkan pada lama maksimum pidana penjara pengganti pidana denda.

(3) Jika Tindak Pidana yang dilakukan diancam dengan pidana minimum, minimum pidana untuk perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah pidana minimum khusus untuk Tindak Pidana masing-masing, tetapi tidak melebihi pidana minimum khusus terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).

Pasal 129

Jika dalam perbarengan Tindak Pidana dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, terdakwa tidak boleh dijatuhi pidana lain, kecuali pidana tambahan, yakni:

a.  pencabutan hak tertentu;

b.  perampasan Barang tertentu; dan/atau

c. pengumuman putusan pengadilan.

Pasal 130

(1) Jika terjadi perbarengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dan Pasal 129, penjatuhan pidana tambahan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. pidana pencabutan hak yang sama dijadikan satu dengan ketentuan: 

1. paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokok yang dijatuhkan; atau

2. apabila pidana pokok yang diancamkan hanya pidana denda, lama pidana paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.  

b. pidana pencabutan hak yang berbeda dijatuhkan secara sendiri-sendiri untuk tiap Tindak Pidana tanpa dikurangi; atau

c. pidana perampasan Barang tertentu atau pidana pengganti dijatuhkan secara sendiri-sendiri untuk tiap Tindak Pidana tanpa dikurangi.

(2) Ketentuan mengenai lamanya pidana pengganti bagi pidana perampasan Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berlaku ketentuan pidana pengganti untuk denda.

Pasal 131

Jika seseorang setelah dijatuhi pidana dan kembali dinyatakan bersalah melakukan Tindak Pidana lain sebelum putusan pidana itu dijatuhkan, pidana yang terdahulu diperhitungkan terhadap pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan perbarengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 sampai dengan Pasal 130, seperti apabila Tindak Pidana itu diadili secara bersama.

(2)Jika pidana yang dijatuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mencapai maksimum pidana, hakim cukup menyatakan bahwa terdakwa bersalah tanpa perlu diikuti pidana.

 

BAB IV

GUGURNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN

DAN PELAKSANAAN PIDANA

 

Bagian Kesatu

Gugurnya Kewenangan Penuntutan

 

Pasal 132

(1) Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika:

telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama;

tersangka atau terdakwa meninggal dunia;

kedaluwarsa;

maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda  paling banyak kategori III;

maksimum pidana denda kategori IV dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun; 

ditariknya pengaduan bagi Tindak Pidana aduan; atau

diatur dalam Undang-Undang.

(2) Ketentuan mengenai gugurnya kewenangan penuntutan bagi Korporasi sama dengan ketentuan untuk orang dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121.

Pasal 133

(1) Pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) huruf d  dan huruf e serta biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai, dibayarkan kepada Pejabat yang berwenang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.

(2) Jika diancamkan pula pidana tambahan berupa perampasan Barang atau tagihan, Barang atau tagihan yang dirampas harus diserahkan atau harus dibayar menurut taksiran Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika Barang atau tagihan tersebut sudah tidak berada dalam kekuasaan terpidana.

 (3) Jika pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan tersebut tetap berlaku sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap Tindak Pidana yang dilakukan lebih dahulu gugur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) huruf d dan huruf e.

Pasal 134

Seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam satu perkara yang sama jika untuk perkara tersebut telah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 135

Jika putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 berasal dari pengadilan luar negeri, terhadap orang yang melakukan Tindak Pidana yang sama tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:

a. putusan bebas dari tuduhan atau lepas dari segala tuntutan hukum; atau

b. putusan berupa pemidanaan dan pidananya telah dijalani seluruhnya, telah diberi ampun, atau penjalanan pidana tersebut kedaluwarsa.

Pasal 136

(1) Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur karena kedaluwarsa jika:

setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun untuk Tindak Pidana  yang  diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau hanya denda paling banyak kategori III;

setelah melampaui waktu 6 (enam) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun;

setelah melampaui waktu 12 (dua belas) tahun untuk Tindak Pidana  yang  diancam dengan pidana penjara di atas 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun;

setelah melampaui waktu 18 (delapan belas) tahun untuk Tindak Pidana  yang  diancam dengan pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan

setelah melampaui waktu 20 (dua puluh) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.

(2) Dalam hal Tindak Pidana dilakukan oleh Anak, tenggang waktu gugurnya kewenangan untuk menuntut karena kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi menjadi 1/3 (satu per tiga).

Pasal 137

Jangka waktu kedaluwarsa dihitung mulai keesokan Hari setelah perbuatan dilakukan, kecuali bagi:

Tindak Pidana pemalsuan dan Tindak Pidana perusakan mata uang, kedaluwarsa dihitung mulai keesokan Harinya setelah barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan;

Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 570, Pasal 571, Pasal 572, Pasal 573, dan Pasal 576 kedaluwarsa dihitung mulai keesokan Harinya setelah Korban Tindak Pidana dilepaskan atau mati sebagai akibat langsung dari Tindak Pidana tersebut.

Pasal 138

(1) Tindakan penuntutan Tindak Pidana menghentikan tenggang waktu kedaluwarsa.

(2) Penghentian tenggang waktu kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung keesokan Hari setelah tersangka atau terdakwa mengetahui atau diberitahukan mengenai penuntutan terhadap dirinya yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

(3) Setelah kedaluwarsa dihentikan karena tindakan penuntutan, mulai diberlakukan tenggang kedaluwarsa baru.

Pasal 139

Apabila penuntutan dihentikan untuk sementara waktu karena ada sengketa hukum yang harus diputuskan lebih dahulu, tenggang waktu kedaluwarsa penuntutan menjadi tertunda sampai sengketa tersebut mendapatkan putusan. 

 

Bagian Kedua

Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana

 

Pasal 140

Kewenangan pelaksanaan pidana dinyatakan gugur, jika:

a. terpidana meninggal dunia; 

b. kedaluwarsa;

c. terpidana mendapat grasi atau amnesti; atau

d. penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain.

Pasal 141

Jika terpidana meninggal dunia, pidana perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan yang telah disita tetap dapat dilaksanakan. 

Pasal 142

(1) Kewenangan pelaksanaan pidana gugur karena kedaluwarsa setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu kedaluwarsa kewenangan menuntut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ditambah 1/3 (satu per tiga).

(2) Tenggang waktu kedaluwarsa  pelaksanaan  pidana harus melebihi lama pidana yang dijatuhkan kecuali untuk pidana penjara seumur hidup.

(3) Pelaksanaan pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu kedaluwarsa.

(4) Jika  pidana  mati diubah  menjadi pidana  penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, kewenangan  pelaksanaan  pidana gugur karena kedaluwarsa setelah lewat waktu yang sama dengan tenggang waktu kedaluwarsa kewenangan menuntut sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 136 ayat (1) huruf e ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu kedaluwarsa tersebut.

Pasal 143

(1) Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana dihitung keesokan Harinya sejak putusan pengadilan dapat dilaksanakan.

(2) Apabila terpidana melarikan diri sewaktu menjalani pidana maka tenggang waktu kedaluwarsa dihitung keesokan Harinya sejak tanggal terpidana tersebut melarikan diri.

(3) Apabila pembebasan bersyarat terhadap narapidana dicabut, tenggang waktu kedaluwarsa dihitung keesokan Harinya sejak tanggal pencabutan.

(4) Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana ditunda selama: 

a. pelaksanaan pidana tersebut ditunda berdasarkan peraturan perundang‑undangan; atau

b. terpidana dirampas kemerdekaannya meskipun perampasan kemerdekaan tersebut berkaitan dengan putusan pengadilan untuk Tindak Pidana lain.

 

BAB V

PENGERTIAN ISTILAH

 

Pasal 144

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 145

Anak Kunci adalah alat yang digunakan untuk membuka kunci, termasuk sandi, kode rahasia, kunci Masuk Komputer, kartu magnetik, sinyal, atau frekuensi yang telah diprogram yang dapat digunakan untuk membuka sesuatu.

Pasal 146

Anak Kunci Palsu adalah Anak Kunci duplikat termasuk juga segala perkakas, sistem elektronik, atau yang disamakan dengan itu yang tidak dimaksudkan untuk membuka kunci yang digunakan untuk membuka kunci.

Pasal 147

Ancaman Kekerasan adalah setiap perbuatan berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir akan dilakukannya Kekerasan.

Pasal 148

Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas Kapal oleh pemilik atau operator Kapal yang melakukan tugas di atas Kapal sesuai dengan jabatannya.

Pasal 149

Anak Buah Kapal adalah Awak Kapal selain Nakhoda.

Pasal 150

Bangunan Listrik adalah bangunan yang digunakan untuk membangkitkan, mengalirkan, mengubah, atau menyerahkan tenaga listrik, termasuk alat yang berhubungan dengan itu, yaitu alat penjaga keselamatan, alat pemasang, alat pendukung, alat pencegah, atau alat pemberi peringatan.

Pasal 151

Ayah adalah termasuk juga orang yang menjalankan kekuasaan yang sama dengan Ayah.

Pasal 152

Barang adalah benda berwujud atau tidak berwujud, benda bergerak atau tidak bergerak termasuk air dan uang giral, aliran listrik, gas, data, dan program Komputer.

Pasal 153

Bulan adalah waktu 30 (tiga puluh) Hari.

Pasal 154

Dalam Penerbangan adalah jangka waktu sejak saat semua pintu luar  pesawat udara ditutup setelah naiknya Penumpang sampai saat pintu dibuka  untuk penurunan Penumpang, atau dalam hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tanggung jawab atas pesawat udara dan Barang yang ada di dalam pesawat udara.

Pasal 155

Dalam Dinas Penerbangan adalah jangka waktu sejak saat pesawat udara disiapkan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu sampai lewat 24 (dua puluh empat) jam sesudah pendaratan. 

Pasal 156

Hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.

Pasal 157

Harta Kekayaan adalah benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang memiliki nilai ekonomi.

Pasal 158

Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, mempertukarkan data secara elektronik, surat elektronik, telegram, pengkopian jarak jauh atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Pasal 159

Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.

Pasal 160

Kapal Indonesia adalah Kapal yang didaftar di Indonesia dan memperoleh Surat tanda kebangsaan Kapal Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal 161

Kekerasan adalah setiap perbuatan dengan atau tanpa menggunakan kekuatan fisik yang menimbulkan bahaya bagi badan atau nyawa, mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis, dan merampas kemerdekaan, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.

Pasal 162

Kekuasaan Ayah adalah termasuk juga kekuasaan kepala keluarga.

Pasal 163

Kode Akses adalah angka, huruf, simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer, jaringan Komputer, internet, atau media elektronik lainnya.

Pasal 164

Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.

Pasal 165

Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, atau yang disamakan dengan itu, maupun perkumpulan yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu.

Pasal 166

Luka Berat adalah: 

a. sakit atau luka yang tidak ada harapan untuk sembuh dengan  sempurna atau yang dapat menimbulkan bahaya maut;

b. terus-menerus tidak cakap lagi melakukan tugas, jabatan, atau pekerjaan;

c. tidak dapat menggunakan lagi salah satu panca indera atau salah satu anggota tubuh;

d. cacat berat atau cacat permanen;

e. lumpuh;

f. daya pikir terganggu selama lebih dari 4 (empat) minggu; atau

g. gugur atau matinya kandungan.

Pasal 167

Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.

Pasal 168

Malam adalah waktu di antara matahari terbenam dan matahari terbit.

Pasal 169

Masuk adalah termasuk mengakses Komputer atau Masuk ke dalam sistem Komputer.

Pasal 170

Memanjat adalah termasuk Masuk dengan melalui lobang yang sudah ada tetapi tidak untuk tempat orang lewat, atau Masuk melalui lobang dalam tanah yang sengaja digali, atau Masuk melalui atau menyeberangi selokan atau parit yang gunanya sebagai pembatas halaman.

Pasal 171

Musuh adalah termasuk juga pemberontak dan negara atau kekuasaan yang diperkirakan akan menjadi lawan Perang.

Pasal 172

Nakhoda adalah  salah seorang Awak Kapal yang menjadi pemimpin  tertinggi di Kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 173

Pejabat adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara, atau diserahi tugas lain oleh negara, dan digaji berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:

aparatur sipil negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia;

pejabat negara;

pejabat publik;

pejabat daerah;

orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

orang yang menerima gaji atau upah dari Korporasi yang seluruh atau sebagian modalnya milik negara atau daerah; atau

pejabat lain yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 174

Orang Tua adalah termasuk juga kepala keluarga.

Pasal 175

Pengusaha atau Pedagang adalah orang yang menjalankan perusahaan atau usaha dagang.

Pasal 176

Penumpang adalah orang selain Nakhoda dan Anak Buah Kapal yang berada di Kapal atau orang selain kapten penerbang dan awak pesawat udara lain yang berada dalam pesawat udara.

Pasal 177

Perang adalah termasuk juga Perang saudara dengan mengangkat senjata.

Pasal 178

Waktu Perang adalah termasuk waktu di mana bahaya Perang mengancam dan/atau ada perintah untuk mobilisasi Tentara Nasional Indonesia dan selama keadaan mobilisasi tersebut masih berlangsung. 

Pasal 179

Pesawat Udara Indonesia adalah pesawat udara termasuk pesawat ruang angkasa, yang  didaftarkan dan mempunyai tanda pendaftaran  Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk pesawat udara asing yang disewa tanpa  awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.

Pasal 180

Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bunyi pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Pasal 181

Ruang adalah termasuk bentangan atau terminal Komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu.

Pasal 182

Setiap Orang adalah orang perseorangan, termasuk Korporasi. 

Pasal 183

Surat adalah dokumen yang ditulis di atas kertas, termasuk juga dokumen atau data yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, atau media penyimpan Komputer atau media penyimpan data elektronik lain.

Pasal 184

Ternak adalah hewan peliharaan yang diperuntukan sebagai sumber pangan dan sumber mata pencaharian.

Pasal 185

Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik dan mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh Tindak Pidana.

Pasal 186

Tindak Pidana adalah termasuk juga permufakatan jahat, persiapan, percobaan, dan pembantuan melakukan Tindak Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang‑Undang.

 

BAB VI

ATURAN PENUTUP

 

Pasal 187

Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi Perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang‑undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang.


Redaksi Geolive
Geolive adalah media edukasi politik yang bertujuan membumikan kerangka pikir rasional dan ilmiah dalam hidup bermasyarakat. | Email: geolive.id@gmail.com | Instagram/Twitter: @GeoliveID
Comments