Feminisme. Feminis. Patriarki. Misogini. Kesetaraan.
Dewasa ini, di belahan bumi manapun anda berada, kemungkinan besar anda akan sering mendengar istilah-istilah tersebut diucapkan oleh manusia-manusia privileged yang bisa disebut sebagai aristokrat masa kini.
Berpendidikan tinggi, hidup dalam kecukupan ekonomi, akses internet lancar. Mereka duduk manis di balik layar ponsel mereka sambil menggunjingkan isu-isu rakyat jelata dengan bahasa-bahasa khayangan.
Mulai dari twitter, instagram, tiktok, youtube, hingga website kesayangan kita semua yakni Magdalene. Semua berbicara mengenai feminisme.
Pada feminis media sosial ini membuat saya sebagai perempuan berkali-kali mengulang pertanyaan yang sama dalam benak saya.
Apakah saya sudah berada di jalan yang benar? Apakah saya ada di barisan perjuangan perempuan? Atau saya hanyalah korban opresi dalam sistem patriarki? Apa saya terkena internalised misogyny?
Segudang pertanyaan yang bahkan arti katanya pun kadang saya tidak yakin paham.
Semakin feminis media sosial berbicara lantang, semakin saya menyadari bahwa sebenarnya yang saya dukung adalah manusia, bukan perempuan. Agenda yang mereka usung tidak dapat saya jalani seutuhnya dan saya setujui sepenuhnya.
Menurut saya, otoritas tubuh manusia berjalan seiring dengan tanggung jawab manusia itu sendiri terhadap tubuhnya. Logis saja.
Tentang Hamil di Luar Nikah dan Utas-utas yang Mengiringinya
Suatu ketika, saya melontarkan argumen terkait perempuan yang hamil di luar nikah. Saya sampaikan bahwa risiko dalam melakukan seks pranikah harus dipikirkan sebelum melakukannya.
Seks yang konsensual itu berarti setuju bukan hanya untuk seksnya itu sendiri, tapi juga berarti sadar dan paham betul segala risiko dan konsekuensinya.
Hal ini tidak dapat diterima oleh feminis media sosial. Mereka tidak menjawab dengan argumen, mereka hanya bilang saya seksis dan brengsek.
Ketika pemilik vagina sudah mengizinkan sebuah penis masuk ke dalam liangnya, ketika itulah dia sudah mengatakan “iya” pada segala risiko yang ada dan siap dengan segala konsekuensinya.
Dimulai dari penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak direncanakan, hingga sakit hati yang ternyata tidak kunjung sembuh.
Kehamilan adalah hal yang bisa diprediksi ketika melakukan hubungan seksual. Hubungan seksual secara biologis memang diketahui memiliki dampak terjadinya individu baru (keturunan). Risiko ini pengetahuan dasar saja.
Selain itu, ada fakta lain yang juga tak kalah penting: yang hamil adalah pemilik rahim, bukan donatur sperma.
Pertanggungjawaban idealnya memang datang dari keduanya, tapi yaaa itu IDEALNYA.
Dengan menghubungkan fakta-fakta yang ada secara logis, kita bisa tau bahwa pertanggungjawaban dari pihak yang tidak hamil akan lebih susah dicari.
Saya bukan membenarkan perbuatan tidak bertanggung jawab, tapi saya mendorong perempuan untuk realistis juga. Sadar realita dan menghitung risiko dalam mengambil keputusan hidup.
Tidak menggunakan pengaman ketika melakukan hubungan seks itu berarti sudah setuju dengan adanya risiko lebih tinggi untuk terjadinya penularan penyakit menular seksual.
Tidak menggunakan kontrasepsi dalam bentuk apapun ketika melakukan hubungan seks itu berarti sudah setuju dengan adanya peluang lebih tinggi untuk terjadinya kehamilan.
Bahkan pada titik ini tidak bisa lagi saya sebut itu “kehamilan yang tidak direncanakan”, kecuali seksnya tidak konsensual alias diperkosa. Kalau konsensual, tanpa kontrasepsi, lalu hamil.. Ya itu namanya “kehamilan yang direncanakan” 🙂
Bukan suatu hal yang ajaib atau magis ketika anda sekalian melakukan hubungan seks tanpa kontrasepsi, lalu bunting.
Justru yang mengejutkan adalah jika anda melakukan hubungan seks tanpa kontrasepsi lalu anda mendapatkan tiket gratis untuk nonton konser Kangen Band Reunion.
Kalkulasi Risiko dalam Pilihan
Ketika sudah hamil dan kedua pasangan muda ini panik, gundah gulana, kemudian sang donatur sperma tiba-tiba kabur yaa lagi-lagi merupakan hal yang bisa diprediksi dengan logika.
Perempuan yang tidak siap itu juga kalau bisa kabur pasti kabur. Sayangnya dia berada di posisi yang hamil, sehingga dia tidak bisa kabur. Di sinilah perhitungan risiko itu harus dilakukan di depan.
Sadari bahwa ketimpangan ongkos reproduksi di perempuan dan laki-laki punya dampak terhadap risiko yang timpang juga.
Lalu, apakah laki-laki yang kabur dari kehamilan itu boleh dikatakan sebagai pengecut dan brengsek? Oh, tentu saja boleh. Saya juga tidak membenarkan perilaku tersebut kok! Silakan saja benci dia, maki-maki dia.
Tapi, apakah laki-laki tersebut dapat dipidana? Tidak bisa. Lantas bagaimana perempuan yang hamil di luar nikah ini bisa memperjuangkan pertanggungjawaban untuk jabang bayi yang hidup di rahimnya?
Untungnya negara ini sudah memperhatikan dan melindungi nasib Anak Luar Kawin (selanjutnya akan disebut ALK). Sang ibu dapat meminta pertanggungjawaban finansial dan meminta sang donatur sperma untuk mengakui ALK tersebut sebagai anaknya.
Ketika sang donatur sperma bersedia mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengakui ALK ini, maka sang donatur sperma akan dibebani kewajiban untuk membiayai hidup sang anak dan ALK akan mendapatkan warisan ketika sang donatur sperma dipanggil oleh Yang Maha-Maha.
Apakah hal ini diatur dalam hukum? Iya. Sang donatur dapat dimintai pertanggungjawabannya dengan cara sang donatur harus mau mengajukan permohonan pengakuan ALK di pengadilan.
Bagaimana caranya? Hubungi saya untuk strategi yang tepat, harga bersahabat, nego tipis.
Apakah akan mudah? Tentu tidak. Apakah mengurus tes DNA, mengajukan permohonan, proses pengadilan, dll akan menguras energi, waktu, dan uang anda sampai titik darah penghabisan? Sudah pasti.
Seorang perempuan yang berteriak dengan lantang dan membebani sang donatur sperma dengan segala tuduhan dan makian seperti yang kita sering baca di linimasa harus kita edukasi mengenai hak-hak yang bisa ia dapatkan melalui jalur hukum.
Jangan lupa, ada juga konsekuensi legal yang bisa muncul kalau ia sudah membingkai sang donatur sperma tersebut dengan sebutan predator, pemerkosa, dll.
Perjuangan di jalur hukum tentu tidak mudah.
Belum lagi harus meninggalkan beberapa mimpi untuk mengurus anak yang direncanakan tapi tidak siap dihadapi, cacian dari warga sekitar, hingga mengurus kelelahan hati dan pikiran karena sang donatur sperma ternyata berkelakuan kayak indihome.
Membuat Keputusan untuk Tubuh Anda
Oleh karena itu, saya sungguh-sungguh ketika saya menyampaikan berulang kali bahwa manusia harus menggunakan otonomi atas dirinya dengan cerdas.
Rahimmu, tanggung jawabmu. Penismu, tanggung jawabmu. Ketika anda sekalian berteriak lantang bak orang takbiran dengan kredo “tubuhku otoritasku”, anda harus sadar bahwa otoritas itu berarti keputusan ada di tangan anda.
Para feminis media sosial ini membingungkan buat saya. Alih-alih mengedukasi perempuan untuk membuat keputusan cerdas atas tubuhnya, malah menyemangati perempuan untuk berteriak lantang meminta dukungan dan justifikasi atas kelakuan ceroboh mereka.
Dalam hati saya yang paling dalam, pertanyaan saya bermunculan tiada henti.Â
Anda ingin perempuan ini setara, tapi mengapa tidak mengedukasi mereka dan membuat mereka tetap dan selalu rugi dalam keputusan-keputusan mereka?
Jika agendanya membuat perempuan percaya diri untuk bersaing dengan laki-laki, sama pintarnya, sama kuatnya, sama-sama memiliki kesempatan dan hak yang sama, mengapa feminis sosial media ini justru encourage perempuan-perempuan untuk dengan mudahnya mengeluarkan ‘kartu korban’?
Semua orang yang merasa atau mendeklarasikan diri sebagai feminis, harus memilih di antara dua tujuan ini.
Apakah anda mau menumbuhkan perempuan-perempuan yang ingin diistimewakan dengan segala cara dengan menempatkan perempuan sebagai mahluk marginal yang memiliki mental tertindas?
Atau anda mau mengajak perempuan berpikir rasional dan logis dan membuktikan bahwa perempuan bukan makhluk nomor dua yang tidak bisa mengambil keputusan cerdas untuk dirinya?
Saya berdiri pada tujuan kedua.
Feminisme Garis Logis: Sebuah Usul
Saya mengusung feminisme yang fokus mengedukasi perempuan dengan kemampuan berpikir akurat, membekali dengan literatur/wawasan tentang fakta-fakta dasar yang harus diketahui, serta menumbuhkan mental otonom (menjadi pengambil keputusan untuk hidupnya).
Mental otonom ini termasuk sadar risiko dan konsekuensi ketika mengambil keputusan atau pilihan dalam hidup. Bukan bikin keputusan asal-asalan, ceroboh, dan bodoh lalu menyalahkan orang lain.
Pemikiran saya ini kalau harus dimasukkan sebagai mazhab feminisme, maka kita buat saja mazhab baru: feminisme garis logis. Logis artinya berpikir sederhana, lurus, sesuai dengan fakta dan alur konsekuensi logisnya saja.
Jika memang agenda feminis media sosial ini hanya ingin menyetarakan keberadaan perempuan dan laki-laki dalam segala hal, sekaligus menghancurkan martabat laki-laki sambil teriak-teriak “men are trash” atau “men are the problem“, saya sarankan jangan tanggung-tanggung.
Silakan setarakan isi penjara yang didominasi laki-laki. Pertanyakan, di mana perempuan? Kok sedikit sekali perempuan yang dipenjara? Apalagi dihukum mati. Mulailah ajak perempuan bertindak kriminal yang lebih gila!
Sekian dulu dari saya. Segala komen dan tanggapan yang tidak logis akan dimaklumi dan dimaafkan 🙂
Baca juga:
Indira Kalistha Tidak Bersalah. Penulis: Revina VT
Sesat Pikir Stasiun Televisi Minta Netflix dan Youtube Diatur. Penulis: Coki Pardede
—-
TERBITKAN ARTIKEL ANDA
Silakan kirim artikel pendapat anda untuk diterbitkan di Geolive Sudut Pandang ke:Â geolive.id@gmail.com | Subject: Sudut Pandang – [Judul artikel] | Lampirkan juga profil singkat dan foto terbaru anda.