Saya mau berbagi pandangan mengenai istilah pelakor alias perebut laki orang.
Hubungan saya dan seorang sahabat patah setelah saya menghentikan guyonannya mengenai diksi “pelakor” di suatu forum umum. Cukup satu kali ini saja saya menyebut diksi tersebut. Kita tidak boleh melanggengkan sesuatu yang salah.
Jalinan asmara antar-manusia dapat terjadi jika keduanya bersepakat. Isi kesepakatan tidak akan saya bahas di sini, yang jelas suatu hubungan terjadi ketika kesepakatan hubungan disetujui oleh para pihak terkait.
Perebut, menurut KBBI adalah orang yang mengambil secara paksa milik orang lain.
Sementara dalam hubungan perselingkuhan, tidak ada unsur memaksa, tidak ada unsur merebut. Relasi ini terjadi berdasarkan kesepakatan atau kemufakatan kedua belah pihak.
Manusia punya akal pikiran untuk memutuskan. Laki-laki bukan barang yang bisa diambil, melainkan manusia yang membuat keputusan untuk berselingkuh.
Karena relasi ini terjadi tanpa paksaan pihak manapun, maka melekatkan kata “perebut” ke salah satu subjek dalam relasi tersebut adalah kesalahan.
Jika laki-lakimu berselingkuh, itu karena dia mau, bukan karena dia direbut!
Saya yakin pengguna internet pernah melihat video perempuan berkelahi karena perselingkuhan. Dari beberapa video yang saya lihat, mayoritas pihak yang terlibat (berkelahi) adalah antar-perempuan.
Tidak pernah saya temukan video yang sengaja dibuat untuk mempermalukan tersebut fokus ke pelaku laki-laki.
Perempuan dalam hubungan perselingkuhan mendapat persepsi negatif yang lebih berat daripada laki-laki. Salah satu indikasi yang dapat mendukung pernyataan ini adalah tidak populernya kata yang merefleksikan laki-laki sebagai pihak perebut.
Sebagai catatan, sebetulnya ada label untuk laki-laki yang berselingkuh dengan istri orang, yakni “pebinor” alias perebut bini orang. Hanya saja istilah ini kurang populer dibandingkan pelakor.
Namun demikian, istilah ini jelas sama salahnya dengan pelakor, jadi memang tidak perlu dipopulerkan.
Sangat disayangkan istilah “pelakor” sendiri saya lihat lebih banyak dipakai oleh perempuan untuk menghina perempuan lain.
Jadi, sesama perempuan sendiri justru terjebak dalam sesat pikir yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang tinggi dan mulia.
Sehingga dalam perselingkuhan, laki-laki tidak mendapat beban kesalahan yang sama dengan perempuan yang mereka sebut pelakor. Para pelakor diposisikan sebagai makhluk hina yang menodai para suami.
Padahal, sekali lagi, laki-laki adalah manusia dengan kemampuan membuat keputusan dan perselingkuhan merupakan keputusan dua pihak, bukan sepihak.
Melakukan upaya-upaya untuk mendorong perubahan paradigma memang bukan hal yang mudah, terutama dengan orang-orang yang dekat dengan kita.
Jika tidak setuju dengan satu guyon, alternatif optimal yang umumnya dipilih adalah diam. Keputusan untuk menjadi diam ini didorong oleh banyak faktor; misalnya karena tidak ingin dikeluarkan dari kelompok atau tidak ingin kehilangan teman.
Dalam hal ini, diam bukanlah emas. Jika kita melihat kekeliruan berpikir terjadi tepat di depan mata dan kita memilih untuk diam saja, maka diam itu bukanlah kebajikan. Melainkan perilaku yang melanggengkan kesalahan.
Janganlah kita membenarkan kebiasaan, melainkan membiasakan yang benar.
Ada banyak kekeliruan fatal terjadi, dia menjadi wajar, karena dibiasakan.
Tahun 1800-an, orang-orang kulit hitam yang saat itu menjadi budak, secara medis dianggap gila jika mereka mendamba kebebasan.
Saat itu, dokter Samuel A. Cartwright menyebut penyakit mental ini sebagai Drapetomania. Bayangkan, apa yang terjadi jika tidak ada individu-individu yang berusaha untuk mematahkan kekeliruan ini? Drapetomania bisa jadi terus eksis hingga hari ini.
Pemikiran ini akan dianggap benar karena dibiasakan.
Mematahkan kekeliruan yang dianggap wajar adalah usaha bersama. Bukan berarti usaha bersama itu harus selalu dilakukan secara massif, turun ke jalan beramai-ramai atau pidato lewat mimbar-mimbar.
Gelombang perubahan tidak terjadi secara langsung dan mendadak. Dia bermula dari percikan-percikan ide yang datang dari individu-individu.
Tidak semua orang punya kesempatan untuk mengubah dari mimbar yang tinggi. Tapi, semua orang bisa menjadi nyala kecil di dalam proses perubahan tersebut.
Jadilah nyala kecil tersebut, bukan malah melanggengkan kegelapan dengan diam hanya karena sungkan.
Apakah jangan-jangan memilih untuk bersikap diam atas kekeliruan yang terjadi di depan mata adalah hasil dari trauma masa lalumu, masa lalu nenekmu, masa lalu nenek moyang kita?
Trauma yang terjadi dulu mandarah daging dan menyelinap di kekinian? Trauma akibat dijajah selama ratusan tahun?
Jika memang ini penyebabnya, mari bersama-sama sembuh dari trauma ini. Kita sudah 75 tahun merdeka. Jangan lagi takut berkata-kata. Saat ini, semesta adalah tempatmu untuk menggunakan hakmu bersuara. Nyaringkanlah apa yang benar.
Sudahi sampai di sini. Sudah terlalu lama kita diam saja atas banyaknya kekeliruan yang dilanggengkan. Lantangkan sikap, meski itu sahabatmu sendiri.
Suatu saat, kita akan mati. Saat itu terjadi, kita akan meniada dengan lega karena menolak untuk mewariskan kekeliruan.
—-
TERBITKAN ARTIKEL ANDA
Silakan kirim artikel pendapat anda untuk diterbitkan di Geolive Sudut Pandang ke: geolive.id@gmail.com | Subject: Sudut Pandang – [Judul artikel] | Lampirkan juga profil singkat dan foto terbaru anda.