Bicara perdamaian Papua tidak lepas dari masalah rasisme dan diskriminasi terhadap orang Papua. Perlakuan rasis terhadap orang-orang Papua bukan hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat non-Papua.
Mengapa rasisme terus terjadi?
Ketidakpercayaan sosial (social distrust) yang secara alamiah umum terjadi di antara manusia dengan identitas sosial berbeda serta kurangnya wawasan untuk dapat menyikapi itu secara rasional menjadi faktor utama yang menyebabkan rasisme ada dan lestari.
Praktik rasisme tidak hanya dilakukan oleh kalangan masyarakat biasa, tetapi juga dilakukan para aparat negara yang mana seharusnya mereka memberikan contoh yang baik untuk masyarakat lainnya.
Misalnya saja memanggil orang Papua dengan sebutan “monyet”. Sebutan ini kerap kali terdengar di telinga, bahkan sudah banyak menyebar di media sosial.
Orang Indonesia dari pulau dan suku lain tidak mengalami itu. Fenomena sosial ini secara spesifik menimpa orang Papua.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Papua
Jika dilihat sekilas, Papua tampak sama saja seperti kota-kota lainnya, yang juga punya segudang permasalahan. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih dalam, masalah yang menimpa Papua jauh lebih pelik.
Dipaparkan oleh Christopel Paino dalam bukunya yang berjudul Ufuk Timur, di Papua banyak terjadi pelanggaran hak terhadap masyarakat adat. Seringkali dalam suatu sengketa tanah, masyarakat adat tidak berdaya secara hukum di hadapan korporasi besar yang punya kepentingan bisnis di Papua.
Ganti rugi tidak sebanding, janji-janji perusahaan kerap kali tidak ditepati. Contohnya, dijanjikan akan diberikan fasilitas kesehatan dan pendidikan, tetapi pada kenyataannya hal itu masih belum terealisasikan secara penuh atau sesuai yang dijanjikan.
Selain itu, menurut catatan Amnesty International, ada 5 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang membuat perdamaian sulit diwujudkan di Papua.
Pertama, pembunuhan orang Papua yang tidak diproses hukum dengan baik dan penahanan sewenang-wenang terhadap orang Papua.
Sepanjang Januari 2010-Mei 2020, ada setidaknya 95 kasus pembunuhan rakyat sipil Papua oleh aparat keamanan. Sampai saat ini, belum ada mekanisme yang jujur dan imparsial untuk menyelidiki tindak kejahatan oleh aparat keamanan.
Kedua, pelanggaran hak berekspresi, serta berserikat dan berkumpul. Dibandingkan dengan masyarakat wilayah Indonesia di pulau lain, pemerintah terlihat agak sentimen dengan hak berserikat dan berkumpul masyarakat Papua.
Pada Agustus-September 2019, sekelompok orang menyerang mahasiswa Papua yang ada di Malang dan Surabaya, sembari menyerukan umpatan-umpatan rasis.
Banyak video dokumentasi kejadian tersebut menyebar di media sosial. Hal ini kemudian memicu orang-orang Papua turun ke jalan di beberapa kota di Indonesia dengan tuntutan agar perilaku rasis dan diskriminatif terhadap orang Papua tidak terjadi lagi.
Dalam aksi ini, setidaknya ada 96 orang ditangkap, di mana 6 orang di antaranya ditahan dengan tuduhan makar. Penangkapan ini tentu saja merupakan salah satu bentuk pelanggaran kebebasan berekspresi (menyampaikan aspirasi).
Ketiga, para aktivis Papua tidak mendapat proses hukum yang adil. Menurut laporan Amnesty International, pada tahun 2019 lalu, ada 6 orang aktivis (Dano Tabuni, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Ariana Lokbere, dan Surya Anta Ginting) yang ditangkap atas tuduhan makar.
Padahal, mereka hanya mengorganisir aksi damai yang dilangsungkan di depan istana Presiden di Jakarta.
Ketika proses hukum dilakukan, pihak pengacara mengatakan bahwa pihak polisi sempat melarang pengacara mendampingi dan memberikan bantuan hukum selama interogasi. Hal ini tentu saja melanggar prinsip keadilan dalam proses hukum.
Keempat, pembatasan akses informasi. Mendapatkan informasi merupakan hak setiap warga negara. Akan tetapi pada September 2019, setelah sempat terjadi kericuhan di asrama mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, pemerintah memutuskan memblokir sementara akses internet di Papua dan Papua Barat dengan alasan untuk mencegah penyebaran berita bohong dan mempercepat pemulihan keamanan pasca kericuhan.
Diringi dengan penangkapan 2 aktivis HAM, Veronica Koman dan Dhandy Dwi Laksono, akibat tweet mereka yang melaporkan peristiwa yang terjadi di Papua.
Tweet Veronica dianggap sebagai tindakan penghasutan untuk memecah belah bangsa dan dikenakan pasal penghasutan, sedangkan Dhandy dituduh melakukan ujaran kebencian atas dasar SARA.
Akses internet membantu wartawan dan publik untuk menemukan sumber informasi yang beragam termasuk informasi di Papua.
Dengan demikian, mereka tidak bergantung hanya pada keterangan dari pemerintah saja, tetapi juga keterangan dari pihak lain. Keragaman informasi ini kemudian bisa dibandingkan, sehingga pemahaman menjadi seimbang dan tidak berat sebelah, serta dapat dilihat dari banyak sisi.
Tindakan pemerintah memblokir akses internet dan menangkap para aktivis diduga menjadi upaya pemerintah untuk menutupi informasi yang sebenarnya dan agar bisa sewenang-wenang mengontrol alur dan akses informasi.
Dalam kasus ini, pada 3 Juni 2020, pengadilan memutuskan bahwa pemerintah RI telah melakukan pelanggaran hukum.
Kelima, kerusuhan Nduga. Pada 2 Desember 2018 lalu, kelompok yang dikenal sebagai Tentara Pembebasan Nasional Operasi Papua Merdeka (TPN OPM) diduga telah melakukan pembunuhan terhadap 28 pekerja konstruksi di Kabupaten Nduga.
Hal ini kemudian dibalas oleh pihak tentara RI dengan melancarkan aksi besar-besaran di wilayah tersebut, yang mana mengakibatkan ribuan orang harus mengungsi ke wilayah lain untuk mencari perlindungan.
Para pengungsi yang pindah ini hidup dalam kondisi yang mengenaskan dan tidak manusiawi. Mereka kehilangan hak untuk mendapatkan fasilitas yang penting untuk keberlangsungan hidup seperti layanan listrik, kesehatan, dan sanitasi. Anak-anak pun sulit mendapatkan akses pendidikan.
Sukarelawan Amnesty International melaporkan setidaknya ada 5.000 pengungsi yang pergi meninggalkan rumah mereka dan 138 orang diantaranya meninggal dunia. Selain itu, belum ada informasi lanjutan mengenai penambahan korban jiwa di luar kabupaten Jayawijaya, termasuk orang-orang yang dievakuasi ke hutan.
Dari kasus-kasus yang telah terjadi, penulis melihat pemerintah harus lebih memperhatikan kondisi dan keadaan di Papua secara sosial, bukan hanya ekonomi. Untuk bisa mewujudkan perdamaian, pemerintah RI harus mewujudkan kemanusiaan terlebih dahulu bagi seluruh rakyat Papua.
Penuhi hak masyarakat di sana, tegakkan hukum yang jujur dan adil, tumpas rasisme sampai ke akarnya.
Tanpa menyelesaikan hal-hal ini, maka Indonesia akan selamanya gagal mewujudkan perdamaian Papua dan konflik akan terus-menerus berlanjut.
—-
TERBITKAN ARTIKEL ANDA
Silakan kirim artikel pendapat anda untuk diterbitkan di Geolive Sudut Pandang ke: geolive.id@gmail.com | Subject: Sudut Pandang – [Judul artikel] | Lampirkan juga profil singkat dan foto terbaru anda.