Dalam paripurna 12 Mei 2020, proposal RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dari DPR disahkan sebagai RUU dan masuk dalam agenda pembahasan legislatif.
RUU sarat kritik ini, jika dilihat sekilas, tidak ada yang aneh. Namun, jika ditelisik lebih dalam, hal-hal yang terkandung di dalamnya, banyak yang rancu.
Secara singkat, di bawah ini akan dijelaskan mengenai beberapa kerancuan dari RUU Haluan Ideologi Pancasila.
Lho, Selama Ini Pemerintah Kita Berhaluan Apa?
Disebutkan dalam Pasal 4 draf RUU HIP bahwa RUU ini ditujukan sebagai pedoman segala perilaku terkait penyelenggaraan pemerintahan.
Dari isi pasal tersebut, wajar saja jika timbul pertanyaan: selama ini pemerintah membuat segala kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan, apakah tidak berdasarkan Pancasila? Sehingga diperlukan aturan khusus untuk dijadikan pedoman penyelanggaraan pemerintahan berlandaskan Pancasila.
Berarti segala peraturan dan kebijakan yang telah keluar, perlu dikaji ulang agar sesuai dengan Haluan Ideologi Pancasila. Jelas sangat membingungkan ini!
Padahal, jika menelaah pasal-pasal di dalam UUD 1945, sudah tergambar jelas bagaimana kondisi yang diharapkan dari setiap proses kehidupan berbangsa.
Misalnya saja penerapan demokrasi Pancasila, kedaulatan di tangan rakyat, ada pemilihan umum yang luber jurdil, sampai kriteria calon yang akan dipilih juga dijelaskan secara rinci dalam perundang-undangan terkait.
Contoh lainnya mengenai Demokrasi Ekonomi Pancasila yang menekankan prinsip kebersamaan, efisiensi, dan kekeluargaan. Sudah diatur dalam berbagai produk perundangan terkait.
Semua ini dibuat dengan mengacu pada konstitusi dasar negara, yakni UUD 1945, yang merupakan turunan dari Pancasila itu sendiri.
Maka dari itu, jika ditelisik lebih dalam, substansi pasal-pasal dalam UUD 1945 sudah merupakan tafsiran yang sempurna terhadap ideologi Pancasila.
Lalu, bedanya UUD 1945 dengan RUU HIP apa?
Keduanya sama-sama menjadikan Pancasila sebagai sumber nilai dan pemikiran, di mana kemudian UUD 1945 ini menjadi acuan untuk seluruh produk perundangan yang ada.
Sampai di sini sudah jelas bahwa RUU HIP sangat rancu! Selama ini kita berbangsa dan bernegara sudah mengacu pada konstitusi yang jelas-jelas berhaluan Pancasila.
Kalau harus dibuatkan hukum baru, artinya justru tidak jelas selama ini negara kita berjalan itu dengan haluan apa.
Ketuhanan Berkebudayaan: Agama vs Tradisi Nusantara
Pada Pasal 7 ayat 2 draf RUU HIP disebutkan bahwa “Ciri-ciri pokok Pancasila berupa Trisila yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta Ketuhanan yang berkebudayaan”.
Penyebutan “ketuhanan yang berkebudayaan” jelas sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai hidup bangsa.
Kita bisa lihat dalam sejarah perjalanan agama di Indonesia, tampak bahwa perangkat budaya masyarakat nusantara bukan beararti merupakan agama bagi mereka dan agama tidak otomatis menjadi budaya bagi seluruh masyarakat nusantara.
Sebagaimana pernah disampaikan oleh Snouck Hugronje: hukum adat tidak sama dengan hukum agama. Hukum adat bisa dipengaruhi oleh hukum agama, tetapi keduanya tidak sama.
Bagaimana mungkin muncul istilah “ketuhanan yang berkebudayaan” dalam produk Undang-Undang?
Apakah seluruh budaya di tanah nusantara yang tidak sesuai dengan prinsip ketuhanan (yang biasa diterjemahkan lewat kacamata agama) harus dihapuskan?
Setelah 75 Tahun Merdeka, Baru Bicara Dasar Negara
Selanjutnya, mengenai istilah “haluan ideologi”. Ini berarti dalam RUU HIP, Pancasila baru mau dibuatkan arahnya atau haluannya. Jadi, RUU ini mau memperjelas kedudukan Pancasila di dalam hidup bernegara.
Padahal, Pancasila sudah sekian lama sah menjadi dasar negara, berdasarkan hasil sidang PPKI yang pertama, tanggal 18 Agustus 1945, bahkan dengan jelas disebutkan dalam UU No.12 tahun 2011 Tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada pasal 1 yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
RUU HIP ini sungguh sebuah buah pikir yang sia-sia!
Menentukan kedudukan Pancasila setelah 75 tahun merdeka dan baru menyadari pentingnya pengamalan Pancasila dalam kehidupan berbangsa, setelah keluar ribuan aturan, kebijakan, dan lain sebagainya selama 75 tahun berdiri sebagai negara berdaulat.
Belum lagi kontradiksi mengenai pembuatan undang-undang untuk Pancasila.
Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 menempati urutan tertinggi dalam hierarki perundang-undangan. Lalu mau dibuatkan undang-undang yang menempati posisi di bawahnya? Ini akan menimbulkan kerancuan dalam hierarki hukum itu sendiri!
Sudahlah, DPR sebaiknya jangan mengada-adakan masalah yang tidak ada. Mengingat di masa pandemi ini, rakyat sedang kesulitan. Fokus saja menata ulang negara yang hampir ambruk.
Mengenai ideologi Pancasila, masyarakat dan pemerintah hanya perlu menggunakan nalar dan empati yang baik untuk dapat berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud di dalamnya.
Lagipula, pada masa orde baru, adanya P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dibantu oleh BP7 (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), sangat aktif memasukkan mengenai pemahaman Pancasila dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa.
Mulai dari sekolah dasar sampai pejabat tinggi, semua dipaksa untuk memahami tentang ideologi Pancasila. Gencar sekali memperjelas bahwa Pancasila merupakan pedoman hidup yang sangat penting bagi bangsa Indonesia.
Namun hasilnya apa? Pemerintah yang gencar menggalakkan pemahaman Pancasila, malah gagal mengamalkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Korupsi merajalela, kekerasan aparat dilakukan dengan bangga, kebebasan berpikir dimatikan agar rakyat terus bodoh.
Apakah dengan ini, sejarah akan diulang? Bukannya memperkuat posisi Pancasila, malah Ideologi Pancasila yang ‘asli’ berusaha dikerdilkan.
Bukan pesimis, hanya patut curiga. Jangan sampai kebobolan, kena tipu-tipu lagi.
—-
TERBITKAN ARTIKEL ANDA
Silakan kirim artikel pendapat anda untuk diterbitkan di Geolive Sudut Pandang ke: geolive.id@gmail.com | Subject: Sudut Pandang – [Judul artikel] | Lampirkan juga profil singkat dan foto terbaru anda.