Belakangan, laki-laki berseragam menjadi bahan perbincangan di media sosial. Semua itu berawal dari sebuah video seorang laki-laki berseragam polisi berujar “Pacar kamu ganteng, kaya, bisa gini gak?” sambil mengokang senjata yang beredar di internet.

Netizen yang dikenal bar-bar pun tanpa malu-malu melontarkan berbagai macam komentar dan hujatan.
Selain itu, netizen pun mulai memakai template “Pacar kamu ganteng? Kaya? Bisa gini gak?” untuk berbagai macam situasi lainnya (selain mengokang senjata, seperti yang dilakukan laki-laki berseragam polisi tersebut).
Tampil dengan gaya gagah, gede, duwur, tanpo cacat kadang juga sambil mengokang senjatanya, perilaku laki-laki di video itu dinilai sebagian besar netizen sebagai arogan dan kelewat percaya diri.
“Apa yang mau disombongin? Senjata lo juga rakyat yang bayarin!” ujar sebagian netizen.
Dalam artikel yang ditulis oleh Hutahaean (2015) dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, berdasarkan hasil dari sebuah penelitian eksperimental terkait dengan pakaian kedinasan, ditemukan bahwa persepsi mengenai seragam (yang dipakai untuk menjalankan tugas tertentu) dapat memengaruhi psikis orang yang mengenakannya.
Mungkin, banyak dari laki-laki berseragam yang memiliki persepsi bahwa dengan seragam yang dipakainya, dia otomatis jadi lebih bernilai di mata perempuan, sehingga dapat dengan mudah memikat perempuan manapun yang diinginkan.
Sayangnya ternyata pada saat dicoba lewat video itu, alih-alih memikat hati perempuan, eh malah dapat kesan cringe dan citra kurang baik atas modus yang dilakukan dengan embel-embel pangkat dan status sosial.
Tak jarang pula laki-laki berseragam menggunakan jurus kalimat-kalimat manis yang sebenarnya condong ke arah kecongkakan diri, seperti iming-iming jaminan masa depan jika perempuan yang dijadikan incarannya mau merajut asmara dengannya.
“Zaman sekarang mana ada sih cewek yang gak mau sama orang berseragam kaya gue?” adalah salah satu pernyataan yang sering dilontarkan laki-laki berseragam yang justru membuat perempuan malah ragu untuk menjalin hubungan asmara dengan dia.
Yang menjadi pertanyaan: apakah masih relevan jaminan masa depan dan kesejahteraan seseorang diukur dengan seberapa sangar seragam yang dipakai?
Padahal faktanya, belum tentu gaji dan tunjangan yang dimiliki lebih besar dari pedagang martabak atau pedagang pecel lele yang omset penjualannya mencapai ratusan ribu sampai jutaan rupiah per hari.
Arogansi laki-laki berseragam semakin bertambah subur saat sebagian dari masyarakat kita melanggengkan pekerjaan dan gaji sebagai standar kehidupan yang sukses dan sejahtera.
Nampaknya, pekerjaan berseragam sampai saat ini masih digemari oleh banyak ibu-ibu, bapak-bapak, mas-mas, dan mbak-mbak yang beranggapan bahwa tolok ukur profesi ideal dan disegani oleh khalayak adalah menjadi aparatur negara.
Sebuah studi (pilot study) yang dituliskan oleh Hann (1971) menunjukkan bahwa polisi dengan pangkat yang tinggi akan lebih disukai, meraih status sosial yang tinggi, dan menerima perlakuan yang berbeda (penuh hormat) dari masyarakat umum dibanding orang lainnya.
Oleh karena itu, bukan hal yang janggal jika orang tua dengan anak perempuan semata wayang lebih menerima lamaran dari seorang lelaki perwira muda daripada lelaki yang bekerja dibalik layar ponsel atau laptopnya, meskipun nilai ekonomi yang dihasilkan lebih besar.
Bagi sebagian orang, seragam dengan pangkat yang melekat di pundaknya adalah manifestasi diri seseorang dalam suatu lingkar/struktur sosial di tengah kehidupan bermasyarakat. Pengejewantahan kerja keras dan kebanggaan diri yang bertahun-tahun ditenunnya.
Namun, ada banyak orang yang lain yang tidak memandang penting seragam yang dipakai. Seragam akan percuma jika karakter tidak elok.
Misalnya saja, tidak mampu menghargai orang lain, memandang rendah identitas sosial yang berbeda, apalagi ditambah tidak kompeten, bahkan korupsi, dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai aparat negara.
Menjadi polisi, misalnya, adalah sebuah profesi kerja yang tugas utamanya adalah menjamin penegakan hukum dan terjaganya keamanan masyarakat, bukan malah mengintimidasi dan merendahkan rakyat hanya karena bisa bebas mengangkat senjata.
Menjadi polisi atau tentara bukan untuk pamer senjata dan seragam di media sosial. Bukan juga untuk adu keren dan gagah-gagahan di hadapan orang tidak berseragam. Dan tentunya bukan untuk menjadi oknum penjaga “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah”.
Lebih dari itu, seperti yang dikatakan oleh ayahnya Pak Hoegeng—polisi yang paling melegenda seantero negeri, “yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan. Jangan merusak martabat diri dengan perbuatan yang mencemarkan.”
Akhir kata, jangan jadi aparat yang korup dan arogan, yhaaa. Kan kamu digaji pakai uang rakyat hiya hiya hiyaaa~
—-
TERBITKAN ARTIKEL ANDA
Silakan kirim artikel pendapat anda untuk diterbitkan di Geolive Sudut Pandang ke: geolive.id@gmail.com | Subject: Sudut Pandang – [Judul artikel] | Lampirkan juga profil singkat dan foto terbaru anda.