LGBT dan Homophobia: Kepercayaan vs Realitas

7167

Banyak sekali pemikiran yang mucul dari teman-teman saya yang konservatif bahwa orang-orang LGBT adalah sekumpulan orang-orang tidak benar. Banyak juga yang berpikir bahwa mendukung gerakan LGBT itu sama saja melanggar ajaran agama.

Alasan itu dapat diterima secara agama, tapi apakah adil bila hanya melihat dari salah satu perspektif?

Dengan latar belakang adanya diskriminasi dan berbagai pandangan negatif seperti yang saya sebutkan di atas, saya sebagai yang bukan seorang LGBT mendukung penuh gerakan perjuangan pemenuhan hak-hak LGBT.

Saya menulis artikel ini untuk memberikan sebuah sudut pandang baru untuk menambah kekayaan intelektual, terutama untuk semua orang yang masih berpikir kalau LGBT itu adalah sekumpulan orang gila atau orang rusak.

Artikel ini saya harap juga menyadarkan seluruh elemen pemerintahan baik di kursi legislatif, eksekutif, maupun yudikatif untuk menghapus diskriminasi dalam bentuk apapun terhadap LGBT dalam produk hukum atau kebijakan publik yang dibuat pemerintah.

Menjadi Religius = Harus Homophobic?

Di Agama Kristen, baik Kristen Katolik, Kristen Protestan, ataupun Kristen dengan aliran-aliran tertentu, saya, yang merupakan penganut Katolik yang taat, paham betul bagaimana konservatif dan kerasnya agama Kristen dalam menentang LGBT.

Di agama lainpun ada dasar-dasar ajaran yang menentang keras LGBT ini. Salah satu kisah yang dijadikan dasar penolakan terhadap LGBT adalah kisah Sodom dan Gomora (yang sampai sekarangpun sebenarnya masih bisa diperdebatkan).

Akan tetapi, banyak juga ayat-ayat di Alkitab yang pro LGBT. Terdapat setidaknya 6 ayat yang dianggap pro LGBT dan jarang diungkit ke umat seperti 1 Sam 18:1-4, 2 Sam 1:26, Daniel 1:1-21, dll (Singgih, 2020:38).

Banyak yang berpendapat begini: “Tapi, dari dulu kita diajarin kalau LGBT itu dosa, kita menemani mereka tapi kita menolak gaya hidup mereka”.

Fakta yang saya temukan di sosial media, masih banyak sekali orang-orang yang mengeluarkan pernyataan yang bersifat menghakimi dan diskriminatif terhadap LGBT dengan alasan melanggar norma agama.

Kalau memang contoh ayat yang saya sebutkan tidak cukup membuat pemikiran kalian berubah, saya beri satu statement. Agama mana sih yang mengajarkan kita untuk membenci orang-orang berdosa? Kasih tau saya kalau ada!

Faktanya, agama mengajarkan kita untuk mengasihi orang berdosa. Kalaupun mau menegur, kita nasihati dengan penuh kasih, bukan dengan kebencian. Tingkatan kata mengasihi itu lebih tinggi dari sekedar menghargai.

Seharusnya, kalau memang kita religius dan taat kepada agama, kita dukung mereka yang LGBT untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara dan manusia yang bermartabat sebagai wujud nyata dari sikap mengasihi.

LGBT = Nuts People?

Ada sebuah statement yang saya temukan di instagram story saya berberapa waktu lalu. Saya akan memparafrasa kata-katanya demi mencegah ketersinggungan.

Intinya, dikatakan bahwa kalau mau jadi LGBT, coba pikirkan lagi karena kita adalah manusia yang punya akal pikiran. Kalau punya akal pikiran, tidak mungkin menjadi LGBT. Kira-kira begitu logikanya.

Kata-kata tadi seakan menggambarkan bahwa LGBT adalah sekumpulan orang-orang sudah gila, tidak bermartabat, dan tidak punya akal sehat.

Ini adalah sebuah pemikiran yang disrespectful.

Saya, yang pro LGBT, menghargai opini apapun yang anti LGBT. Akan tetapi, pernyataan barusan adalah pernyataan yang tidak menunjukkan sikap seorang manusia yang punya akal sehat. Ujung-ujungnya maling teriak maling.

Saya punya teman LGBT yang harus saya akui dia cerdas, rajin, punya selera seni yang tinggi, dan kritis. Tidak ada gejala dia kehilangan akal sehatnya. Jadi sudah jelas bahwa tidak ada hubungan antara LGBT dengan hilangnya akal sehat.

Diskriminasi LGBT Melanggar Konstitusi

Sudah disebutkan dalam UUD 1945 pasal 28I ayat (2) “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Dengan dasar ini, pemerintah seharusnya dituntut atas keberadaan produk-produk hukum, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang mendiskriminasi LGBT.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa LGBT masih menerima perlakuan diskriminatif dan bahkan menerima tindak kriminalisasi, pelanggaran privasi besar-besaran dalam razia, dan perlakuan tidak manusiawi dalam proses hukum.

Saya dulunya sempat berpikir kalau transgender (transpuan terutama) adalah orang-orang gila dan menjijikkan. Pemikiran itu selalu berseliweran di kepala saya sampai saya menemukan sebuah sudut pandang baru mengenai LGBT (a big shout out to my best friend who is a bisexual!).

Stigma masyarakat yang masih menanggap kalau transpuan adalah orang-orang gila dan melabel mereka dengan berbagai sebutan yang merendahkan seperti “bencong” atau “wanita jadi-jadian” itu merampas martabat LGBT sebagai manusia.

Saya mencoba melakukan survey kecil-kecilan yang terdiri atas 5 pertanyaan.

Hasilnya, dari 22 responden yang merupakan kalangan remaja, 73% menyatakan bahwa mereka tidak terganggu akan keberadaan LGBT. Angka yang besar memang, tetapi, kekhawatiran saya ada di angka 27% yang merasa terganggu ini.

Artinya, ada orang-orang di generasi muda yang “teracuni” stigma buruk LGBT.

Sayapun mencoba menanyakan apa kata atau frasa yang pertama kali terlintas di pikiran mereka saat mendengar kata LGBT. Ada jawaban yang memang menunjukkan rasa hormat terhadap LGBT, seperti keragaman, personal, universal, dan bahkan, ada yang mendeskripsikan LGBT sebagai dirinya sendiri.

Akan tetapi, saya juga menemukan jawaban-jawaban yang menunjukkan cacian, hinaan, serta stigma yang buruk terhadap LGBT. Ada yang mengibaratkan LGBT sebagai “orang sinting dengan nafsu menyimpang”.

Selain itu, kata-kata seperti jijik, cringe, banci, kurang kasih sayang, dan lain-lain (yang tidak bisa penulis tuliskan karena terlalu keras) juga dipilih beberapa responden untuk mendeskripsikan citra LGBT di mata mereka.

LGBT sebagai Kondisi Biologis

Menurut Allan Schwartz, LCSW, Ph.D, seorang psikoanalis National Psychological Association for Psychoanalysis Amerika Serikat, menuliskan bahwa faktor genetik  merupakan faktor penyebab seseorang menjadi LGBT.

Kromosom X yang diturunkan dari ibu ke anak (laki-laki), membawa keragaman gen yang membuat seorang anak menjadi gay.

Selain itu, Allan juga menuliskan bahwa faktor biologis turut menjadi penyebab seseorang memiliki orientasi seksual yang berbeda. Adanya fenomena biologis pada dinding rahim saat melahirkan anak laki-laki yang lebih tua. Hal ini kemudian memicu risiko pada janin anak laki-laki yang lebih muda untuk berorientasi seksual homoseksual.

Hal ini didukung pula oleh penemuan kromosom Xq-28 oleh Magnus Hirscheld, Michael Bailey, Richard Pillard, dan Dean Hamer. Gen tersebut terdapat pada orang-orang yang memiliki kecenderungan homoseksual.

Sejak 15 Oktober 1973, College of Psychiatry Federal Council Australia and New Zealand telah mengumumkan homoseksualitas bukanlah penyakit jiwa. Ini merupakan deklarasi pertama yang kemudian memicu deklarasi-deklarasi lainnya.

Puncaknya, tahun 1987, Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) mencoret homoseksualitas dari daftar Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM). Pada 25 Mei 2019, WHO menyetujui pembaruan untuk menghapus transgender dari kategori penyakit jiwa di ICD-11, sebuah manual yang digunakan secara global untuk mendiagnosis penyakit jiwa.

Memahami Perspektif LGBT

Sebanyak 59% responden saya memiliki rasa ingin tahu terhadap sudut pandang dari LGBT. Hal ini menunjukkan adanya itikad baik untuk berempati dan memahami bagaimana perasaan dan pikiran dari LGBT sendiri.

Dari 59% suara itu, muncul pertanyaan-pertanyaan menarik. Ada yang mempertanyakan penyebabnya, ada masalah apa, hubungan sosial antar individu dan/atau kelompok LGBT, dst. At the end of the day, we indeed need to learn about their perspective.

Jadi, apakah salah menjadi religius? Dan haruskah menolak keberadaan LGBT? Sama sekali tidak. Faktanya, saya sendiri adalah penganut agama Katolik yang taat dan saya menulis artikel ini yang jelas-jelas membela hak-hak LGBT.

Seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, harus mengakui dan menghormati martabat dan kedaulatan individu-individu LGBT yang berhak atas kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan menentukan pilihan-pilihan hidup mereka secara bebas selayaknya manusia.

 

—-

TERBITKAN ARTIKEL ANDA

Silakan kirim artikel pendapat anda untuk diterbitkan di Geolive Sudut Pandang ke: geolive.id@gmail.com | Subject: Sudut Pandang – [Judul artikel] | Lampirkan juga profil singkat dan foto terbaru anda.


Indra Limas
Alumni SMA Katolik Santo Albertus Malang. Willing to learn something new. Data admirer. Calon mahasiswa hukum. My biggest dream: being a lawyer. I like to do debate, write articles, and do podcasts. A big Real Madrid fan. Not looking for fame, but here's my instagram account: @indra.limas.2002
Comments