Pemerintah Butuh Komedian

1784

“Sesama keluarga miskin besanan, kemudian lahirlah keluarga miskin baru.”

Ini pernyataan yang datang dari Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, Selasa (04/08).

Betul, orang yang sama yang pernah usul agar orang kaya menikahi kaum papa agar kemiskinan di negeri ini bisa teratasi. Betul juga, ia orang yang sama yang pernah diberi amanah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.

76 juta rumah tangga miskin yang tersebar di penjuru negeri ini mungkin sudah bosan terkaget karena lagi-lagi dikambinghitamkan oleh pemerintah.

Bagaikan gula dan semut, seperti itulah relasi pemerintah kita kini dengan kegegabahan.

Tahun ini saja, kita sudah “dihibur” oleh beragam pernyataan pemerintah, mulai eks Komisioner KPAI dengan kolam renang dan penyebab kehamilannya sampai blunder dari generasi milenial dan “kolonial” di lingkungan Istana saat membicarakan virus COVID-19.

Walau sudah punya staf dan beragam lembaga yang mengurusi ini-itu, yang diisi oleh banyak orang bersekolah tinggi, sepertinya formasi yang dimiliki pemerintah belum lengkap.

Saya rasa, pemerintah kita perlu membangkitkan kembali profesi dari abad pertengahan yang namanya court jester.

Relevansi Komedian sebagai Court Jester di Masa Kini

Court jester atau “badut istana” umumnya dipersepsikan sebagai pelawak atau komedian yang bertugas menghibur raja, ratu, atau kaum bangsawan.

Dahulu, profesi ini tak cuma ada di kebudayaan Eropa seperti Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan Inggris, tetapi juga Arab, Tiongkok, serta India. 

Namun, tidak seperti anggapan kebanyakan orang, court jester bukanlah kumpulan orang bodoh semata. Mereka memang suka menirukan tingkah laku orang bodoh demi menghibur tuannya, tetapi banyak juga badut istana yang merupakan orang cerdas atau berasal dari kalangan terpelajar. 

Kenal dengan Abu Nawas, kan? Tokoh yang bernama asli Ali Al-Hasan ibn Hani Al-Hakami itu adalah salah satu contoh riil court jester terbrilian dalam sejarah peradaban kita, terbukti dari petuah dan kisah humoristisnya yang masih lestari hingga kini.

Selain berprofesi sebagai badut istana pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, ia sejatinya juga seorang pujangga besar dalam budaya Arab (Glassé, 2003). 

Nah, karena sering sukses melipur lara, court jester umumnya begitu disayang oleh raja dan ratu. Saking disayangnya, mereka sampai diberi kebebasan untuk beraspirasi bahkan mengkritik habis tuannya.

Ajaibnya, sang raja atau ratu acapkali mau mendengarkan opini mereka, termasuk menerapkan usulan yang dipinta “si badut”.

Jadi, jangan heran kalau court jester bisa pula dijuluki “corong kebenaran”. Mereka memang punya kemampuan dan nyali untuk meramu kritik secara humoris sekaligus “mengurut” logika dan nurani sang pemimpin yang bengkok.

Mereka juga pada umumnya membawa kepentingan wong cilik yang seringkali tertindas kepada para bangsawan.

Sayang, sejak dulu hingga sekarang, kita masih asing dengan profesi tersebut. Dr. Maman Lesmana (2018) berpendapat kalau court jester tidak populer di budaya maupun khazanah humor Tanah Air karena di sini tidak menggunakan sistem pemerintahan kerajaan.

Selain itu, lembaga pemerintahan atau institusi lain di Indonesia juga belum memiliki tradisi dan kesadaran untuk mengangkat “si badut istana” sebagai bagian dari organisasinya.

Kendati tidak umum, bukan berarti court jester tidak bisa diaplikasikan di Indonesia atau di dunia yang sudah modern ini. Buktinya, maskapai British Airways pernah punya corporate jester bernama Paul Birch. 

Tugasnya memang sudah disesuaikan dengan kebutuhan korporasi modern, tetapi core-nya tetap sama, yakni memberikan wacana tandingan terhadap keputusan-keputusan petinggi perusahaan yang dirasa “aneh” melalui humor.

Walau hanya 18 bulan menjadi corporate jester dari tahun 1995-1996, Birch berhasil mendongkrak citra British Airways di media massa hingga diserbu para pelamar kerja–karena mungkin mereka merasa, perusahaan yang mempekerjakan “badut” pastilah punya lingkungan kerja yang menyenangkan (Otto, 2001).

Posisi Birch sendiri bukan gurauan belaka. Ia memang kapabel, mengingat sebelum menjadi “badut korporat”, ia sudah bekerja di maskapai itu selama hampir dua dekade, mengurusi pemasaran sampai akuisisi.

Oleh karenanya, ia memang punya pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk menjaga perusahaannya berada di trek yang tepat.

Di sinilah vitalnya peran court jester masa kini. Karena terbiasa bermain dengan humor–yang notabene berbasis pada kemampuan bernalar yang kuat–kemudian didukung oleh wawasan dan keahlian yang tepat, mereka bakal mudah menemukan kesalahan, kekonyolan, ataupun absurditas suatu ide.

Jadi daripada “ditertawakan” publik dan netizen, bukankah lebih baik ide, kebijakan, dan strategi suatu instansi atau pemimpin instansi tersebut “disaring” dulu secara internal oleh si court jester?

“Hanya karena Anda bosnya, bukan berarti Anda lebih tahu dari saya,” begitu prinsip Birch yang didukung CEO-nya kala itu, Colin Marshall.

Satu lagi, perempuan juga bisa menjalani profesi ini. Mengutip Westfahl (2015), Inggris pernah punya seorang badut istana wanita alias court jestress sekitar abad ke-16. Jane Foole–besar dugaan itu hanya nama panggung saja–menjadi penghibur beberapa ratu Inggris, yang diyakini termasuk Anne Boleyn.

 

Daftar referensi:

Glassé, C. (2003). The New Encyclopedia of Islam. Walnut Creek: AltaMira Press.

Lesmana, M. (2018). Court Jester Zaman Now. Diakses dari https://ihik3.com/2018/07/court-jester-zaman-now/.

Otto, B. (2001). Fools Are Everywhere: The Court Jester around the World. Chicago: University of Chicago Press.

Westfahl, G. (2015). A Day in a Working Life: 300 Trades and Professions through History: 300 Trades and Professions through History. Santa Barbara: ABC-CLIO.

 

—-

TERBITKAN ARTIKEL ANDA

Silakan kirim artikel pendapat anda untuk diterbitkan di Geolive Sudut Pandang ke: geolive.id@gmail.com | Subject: Sudut Pandang – [Judul artikel] | Lampirkan juga profil singkat dan foto terbaru anda.


Comments