Terdapat tiga permasalahan logika dalam artikel “Feminisme Garis Logis” yang ditulis oleh Revina VT.
Singkatnya, berikut permasalahan yang ada: (1) relasi antara kegiatan konsensual dengan konsekuensi, (2) relasi antara otoritas tubuh dengan tanggung jawab atas tubuh, dan (3) letak kelogisan dari feminisme garis logis.
Tiga permasalahan tersebut saya jabarkan lebih lanjut satu persatu.
Relasi antara Kegiatan Konsensual dengan Konsekuensi
Revina (2020) mengatakan bahwa “Seks yang konsensual itu berarti setuju bukan hanya untuk seksnya itu sendiri, tapi juga berarti sadar dan paham betul segala risiko dan konsekuensinya.”
Klaim tersebut merupakan klaim yang naif dan malah tidak logis. Kenaifannya terletak pada “…sadar dan paham betul segala risiko….”.
Pertanyaan utamanya adalah bagaimana seseorang dapat menyadari dan memahami segala risiko dan konsekuensi?
Kemampuan seseorang untuk menyadari dan memahami konsekuensi tentu terbatas pada pengetahuan yang telah ia ketahui sebelumnya. Asumsi bahwa seseorang itu sadar dan paham betul segala konsekuensi merupakan asumsi yang gegabah, tidak adil, dan jatuhnya utopis kecuali dia adalah Yang Maha Mengetahui.
Selain keterbatasan pengetahuan, konsekuensi sendiri menghasilkan permasalahan lanjutan. Konsekuensi merupakan hal yang sangat luas dan tidak melulu soal biologis.
Semisal seseorang melakukan seks secara konsensual tanpa kontrasepsi, lantas terjadi kehamilan dan tekanan sosial yang mendesak ia untuk menikah dengan pasangan seks konsensualnya. Tentu tekanan sosial tersebut merupakan salah satu risiko dan konsekuensi, selain kehamilan.
Pertanyaannya, apakah seks konsensual yang dilakukan tanpa kontrasepsi itu juga termasuk konsen untuk menikah suatu saat nanti?
Saya pikir berlebihan apabila kita menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban iya, karena domain konsennya hanya terletak pada seks, bukan pernikahan. Seseorang bisa saja melakukan seks secara konsensual namun tidak bersedia untuk menikah dengan pasangan seks konsensualnya tersebut. Logis saja.
Berdasarkan kasus di atas, tidak segala risiko dan konsekuensi berhubungan langsung dengan konsen yang dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, perlu ada kriteria mengenai konsekuensi seperti apa yang perlu disadari dan dipahami oleh seseorang saat ia hendak melakukan kegiatan konsensual.
Kriteria inilah yang perlu dibahas lebih lanjut, bukan malah menuntut orang lain untuk menjadi entitas yang harus menyadari dan memahami segala risiko dan konsekuensi.
Relasi Antara Otoritas Tubuh dengan Tanggung Jawab Atas Tubuh
Revina (2020) pada awalnya mengklaim bahwa “…otoritas tubuh manusia berjalan seiring dengan tanggung jawab manusia itu sendiri terhadap tubuhnya.”
Berjalan seiringan berarti relasinya dua arah, yakni seseorang memiliki otoritas tubuh yang tinggi jika dan hanya jika ia memiliki tanggung jawab atas tubuh yang besar. Sayangnya, setelah itu Revina membantah proposisi dia sendiri.
Revina (2020) selanjutnya menyuruh kita untuk “Sadari bahwa ketimpangan ongkos reproduksi di perempuan dan laki-laki punya dampak terhadap risiko yang timpang juga.”
Ketimpangan tersebut justru menunjukkan bahwa hubungan antara otoritas tubuh dengan tanggung jawab atas tubuh adalah tidak beriringan. Contoh yang diberikan Revina sendiri menunjukkan ketimpangan tersebut.
Perempuan memiliki otoritas tubuh yang rendah seperti posisi sosial yang subordinat, namun perempuan menanggung tanggung jawab atas tubuh yang besar seperti terjebak kehamilan maupun dituntut untuk selalu memperhatikan perilaku dan penampilannya.
Di lain sisi, laki-laki memiliki otoritas tubuh yang tinggi seperti posisi sosial yang superior, namun laki-laki menanggung beban tanggung jawab atas tubuh yang kecil seperti bisa kabur setelah menghamili seseorang maupun perilaku dan penampilannya selalu dimaklumi.
Ketimpangan tersebut merupakan salah satu isu utama dalam feminisme. Masalah ketimpangan tersebut tidak akan terselesaikan dengan hanya mengklaim bahwa keduanya beriringan dan tidak bisa juga terselesaikan dengan diam saja.
Salah satu solusi atas ketimpangan tersebut adalah dengan memberikan perempuan otoritas atas tubuh mereka, seperti memberi perempuan pilihan untuk aborsi, sekaligus menambahkan beban tanggung jawab laki-laki atas tubuh mereka seperti melarang keras tindak pemerkosaan maupun pelecehan.
Sejauh ini saya tidak melihat adanya hubungan logis antara kesadaran atas segala risiko dan konsekuensi dengan menyelesaikan ketimpangan yang terjadi antara perempuan dengan laki-laki.
Menyuruh orang untuk sadar dan paham betul segala risiko dan konsekuensi tidak lantas menyelesaikan ketimpangan yang terjadi.
Jatuhnya, hal tersebut termasuk sebagai pembiaran atas status quo, malah lebih condong pada mengamini status quo. Secara paradoks, hal tersebut menunjukkan bahwa Revina justru mengajak perempuan untuk menempatkan dirinya sebagai makhluk marjinal yang memiliki mental tertindas.
Letak Kelogisan dari Feminisme Garis Logis
Logika merupakan studi tentang metode dan prinsip untuk membedakan penalaran yang valid dengan invalid (Copi, Cohen, dan McMahon 2013, 2).
Sebuah argumentasi atau pemikiran dapat dikatakan logis sejauh kualitas argumentasi maupun penalarannya valid. Hal ini merupakan pengetahuan dasar saja.
Feminisme garis logis yang diusulkan oleh Revina tidak menjawab problem feminisme secara akurat dan valid, justru cenderung lari dari ketimpangan yang terjadi dalam praktik. Terlebih, melihat pola argumentasi dalam artikel Revina tersebut, aspek yang ditekankan justru lebih condong pada konsekuensi, bukan mengenai validitas.
Dengan demikian, sesungguhnya mazhab feminisme ini bukan “feminisme garis logis” namun “feminisme garis konsekuensialis.”
Feminisme garis konsekuensialis ini berarti feminisme yang menitikberatkan pada konsekuensi-konsekuensi yang dihadapi oleh perempuan. Implikasinya, seluruh kritik terhadap aliran filsafat konsekuensialisme juga berlaku untuk feminisme garis konsekuensialis ini.
Dengan kata lain, berbagai kritik tersebut juga perlu dijawab dalam mazhab feminisme garis konsekuensialis ini, dan Revina bertanggung jawab untuk menjawab kritik tersebut sebagai pengusul mazhab ini.
Baca Juga:
Suara Mahasiswa Dibalas Kekerasan Aparat. Penulis: Nikita Situmeang
Berdamai dengan Virus Corona. Penulis: Dion Pardede
—-
TERBITKAN ARTIKEL ANDA
Silakan kirim artikel pendapat anda untuk diterbitkan di Geolive Sudut Pandang ke: geolive.id@gmail.com | Subject: Sudut Pandang – [Judul artikel] | Lampirkan juga profil singkat dan foto terbaru anda.