Sesat Pikir Stasiun Televisi Minta Netflix dan Youtube Diatur

8129

Gue denger kabar ada dua stasiun televisi swasta, yakni RCTI dan iNews, yang mengajukan permohonan uji materi alias judicial review terhadap UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Uji materinya dilakukan terhadap Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran, di mana pasalnya mesti diubah kata mereka, karena penyelenggara penyiaran berbasis internet gak diatur di dalamnya.

Hal ini membuat penyelenggara siaran berbasis internet gak bisa kena sanksi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jika melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar program Penyiaran (P3SPS).

Sumber: cnnindonesia.com

Pertama-tama, sepengetahuan gue, uji materi itu cuman bisa dipake buat membatalkan hukum, gak bisa membuat norma hukum baru. Yang bisa membuat norma hukum baru adalah lembaga legislatif, dalam konteks ini DPR.

Penjelasan ini juga disampaikan oleh Prof. Mahfud MD ketika ada permohonan ke MK untuk perluasan pasal zina dan kriminalisasi LGBT. Meskipun memang MK bisa ngasih interpretasi baru. Nah di sini menurut gue sesat pikir kalo MK diminta bikin pasal baru.

Satu-satunya cara untuk Netflix dan Youtube masuk ke dalam pengaturan UU Penyiaran adalah mengubah pasal 1 ayat 2 yang sudah mendefinisikan dengan jelas maksud dari “penyiaran”. Kalo ini mau diubah, artinya harus mengubah pasal. MK tidak ada wewenang melakukan ini.

Setelah tulisan ini dipublikasikan, gue dapet masukan dari Zico Leonard melalui email, dan ternyata ada perbedaan antara ranah pidana dengan ranah administratif. Gue kutip langsung di sini: Dalam lingkup administrasi seperti yang dipermasalahkan sekarang, MK sudah sering membuat hukum baru, bahkan memerintahkan DPR membuat UU baru, contoh putusan 22/puu-xv/2017 (membuat uu perkawinan baru) dan 80/puu-xv/2017 (membuat uu pajak listrik tersendiri).

Dari informasi baru ini, gue minta maaf, artinya pernyataan gue yang menyebut permohonan ini sesat pikir karena tidak sesuai wewenang MK tidak tepat.

Tapi, informasi ini sekaligus membuat artikel gue jadi semakin relevan. Karena apa? Karena artinya MK sangat mungkin mengabulkan permohonan ini. Dan kalau sudah dikabulkan MK, akan menjadi final dan mengikat (final and binding).

Catatan: Bagian ini gue revisi dengan menambahkan referensi, kalo referensi gue salah, silakan kritik isi referensinya, kasih gue referensi yang membantah referensi itu. I’ll be happy to learn.

Sekarang gue masuk ke poin-poin sesat pikir yang membuat gue memandang permohonan ini gak logis atau gak masuk akal.

Sesat pikir pertama. Pengaturan terhadap televisi itu ada dasarnya, terutama ya karena dia terbuka untuk semua orang tanpa batasan dan tidak bisa diatur secara mandiri. Misalnya: Menayangkan apa, kapan, berapa lama, dan seterusnya.

Dasar berikutnya adalah frekuensi. Televisi konvensional melakukan siaran menggunakan frekuensi yang punya keterbatasan fisik. Hal ini membuat pilihan stasiun televisi menjadi terbatas. Tidak semua orang bisa dengan gampang membuat stasiun televisinya sendiri.

Karena dua faktor ini, televisi diatur oleh negara, walaupun pengaturannya rancu dan minim faedah. Tetapi, justifikasi pengaturannya jelas. Dari sisi penonton tidak ada pilihan, dari sisi penyedia tidak ada kompetisi.

Sementara itu, siaran berbasis internet memberikan penonton pilihan. Penonton bisa mengatur sendiri mau nonton apa, kapan, berapa lama, dan seterusnya. Bahkan untuk anak-anak bisa diatur sendiri juga batasan tayangannya dengan rating sesuai usia anak.

Pilihannya pun gak terbatas, pasarnya sangat kompetitif, karena mudah untuk siapa saja ikut membuat siaran mereka sendiri.

Sumber: tirto.id

Kemudian juga secara khusus untuk Netflix dan platform sejenis, karena dia berbayar, maka dengan sendirinya sudah terbatasi. Orang harus memilih untuk bisa mengaksesnya.

Tidak ada ceritanya ujuk-ujuk Netflix muncul di televisi orang tanpa adanya proses mendaftar dan membayar, di mana ini hanya bisa dilakukan orang dewasa. Berbeda dengan televisi, di mana tidak ada cara untuk membatasi diri dari siaran televisi, karena dia terus saja tayang di layar televisi kita tanpa kita bayar, tanpa sign up atau sign in.

Terlihat jelas bahwa tidak perlu lagi ada pengaturan khusus dari pemerintah, karena warga negara dewasa bisa dengan sendirinya menentukan apakah mereka mau langganan Netflix atau tidak. Berbeda dengan televisi konvensional di mana orang tidak terbatasi dari siarannya.

Selanjutnya lagi, masuk ke sesat pikir yang kedua. UU Penyiaran selama ini dipakai mengatur televisi, hasilnya apa? Konten pembodohan tidak berkurang, konten hoaks settingan ini itu tidak berkurang, muncul sensor aneh-aneh sampe Shizuka dan Sandy Tupai disensor. Sekarang aturan kayak gini mau dibawa ke internet juga?

Shizuka disensor. Sumber: medcom.id

Ibaratnya begini, ada satu warung soto yang pake resep dari pemerintah. Hasilnya amburadul. Rasanya gak enak, dagingnya kurang empuk, teksturnya kasar. Lalu, bukannya resep ini diperbaiki atau gak usah dipake lagi, malah resep ini mau dipaksa wajib dipake oleh seluruh warung soto yang ada di dunia ini.

Justru semua orang selama ini lari dari resep amburadulnya konten televisi dengan mengkonsumsi konten di luar televisi. Lho kok malah aturan televisi mau dibawa ke luar televisi? Ya itu namanya perluasan keamburadulan televisi ke platform-platform lainnya.

Sungguh pola pikir yang absurd. Tetapi harus dimaklumi, karena penalaran ini datang dari stasiun televisi, sumber segala pola pikir absurd masyarakat Indonesia.

Sandy tupai disensor. Sumber: LINE Today

Sampai sini sudah sangat jelas ya sesat pikir permohonan dari kedua stasiun televisi swasta ini. Tapi, kekacauan nalar mereka tidak berhenti sampai di sini, masih ada argumen-argumen yang lebih mencengangkan yang mereka sampaikan di media.

Argumen pertama: Aturan ini diterapkan agar konten-konten di Netflix dan Youtube sesuai dengan Pancasila.

Cuaksssss baru tau gue ternyata ada sila yang mewajibkan konten untuk bodoh. Jenazah bisa terbang dan mutar-mutar di mesin pengaduk semen. Aktivitas memerah susu sapi disensor. Atlet renang disensor. Puteri Indonesia berkebaya disensor.

Puteri Indonesia disensor. Sumber: ayobandung.com

Televisi konvensional kalau belum bisa beresin kualitas sendiri sebaiknya tidak usah ngerecokin kualitas platform-platform lain. Gak masuk akal jadinya. Honestly speaking, konten-konten anda sampah, wahai stasiun televisi pemohon!

Gue lebih respect mending mereka langsung aja bilang bahwa mereka merasa terganggu secara bisnis dengan adanya banyak pilihan siaran berbasis internet. Jujur begitu lebih baik. Tidak perlu bawa-bawa Pancasila, apalagi “untuk kebaikan bangsa”.

Argumen kedua: Dikhawatirkan konten Netflix mengadu domba masyarakat.

Gue hanya bisa berkata haaaaaaa?! Sungguh argumen yang tidak jelas. Mengadu domba itu siaran televisi di masa pemilu!!!! Itu baru mengadu domba!

Heran gue, kok bisa ya stasiun televisi punya muka untuk ngomentarin konten platform lain “gak mendidik” dan “mengadu domba”? Betul-betul out of the box ini.

Platform yang konsisten memproduksi kebodohan dan provokasi selama berdekade-dekade punya muka untuk datang ke MK memprotes platform lain dengan alasan gak mendidik dan berpotensi mengadu domba. Kehabisan kata-kata gue mengomentari gugatan ini.

Gue akhiri dulu opini gue sampai di sini. Sebagai content creator, jujur gue juga punya keresahan sendiri soal ancaman masuknya UU Penyiaran ke Youtube.

Kebebasan pikiran dan pendapat kita sudah sangat amat terbatasi dengan adanya UU ITE, UU Penodaan Agama, dan amuk massa virtual. Kalau mau ditambah lagi aturan ini, semakin pusing hidup gue sebagai pelawak.

Akhir kata, kemerdekaan yang paling dasar adalah kemerdekaan pikiran dan pengetahuan, yang tentunya mencakup kemerdekaan dalam berkonten. Pemerintah udah cukup memberangus hal ini, jangan ditambah-tambahin lagi.

 

—–

TERBITKAN ARTIKEL ANDA

Silakan kirim artikel pendapat anda untuk diterbitkan di Geolive Sudut Pandang ke: geolive.id@gmail.com | Subject: Sudut Pandang – [Judul artikel] | Lampirkan juga profil singkat dan foto terbaru anda.


Comments