Suara mahasiswa menjadi salah satu elemen penting dalam proses memperjuangkan keadilan dari waktu ke waktu. Sejarah mencatat banyak titik di mana bangsa Indonesia bergerak menuju peradaban yang lebih adil dan mahasiswa ambil bagian dalam barisan perjuangan.
Tetapi, semakin keras suara memperjuangkan keadilan, semakin keras pula suara yang menentangnya; yakni sikap represif dari otoritas. Rezim Suharto adalah wajah rezim represif yang kerap melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap mahasiswa dan rakyat sipil pada umumnya.
Rezim Suharto benar-benar mengawasi secara ketat semua informasi yang datang dari mahasiswa, termasuk majalah atau koran mahasiswa yang diterbitkan pers mahasiswa di kampus-kampus.
Pada saat itu, kerap terjadi pembredelan habis-habisan terhadap pers mahasiswa. Tulisan-tulisan mahasiswa dianggap telah menginjak wibawa pemerintah.
Saat sebelum Suharto lengser pada mei 1998, suara-suara di pers mahasiswa semakin lantang menentang rezim represif dan berjuang untuk keadilan.
Namun, penguasa tetaplah penguasa.
Saat gerakan mahasiswa menuntut Suharto diadili atas kejahatan kemanusiaan dan tindak korupsi, sampai hari ini tuntutan tersebut tidak kunjung terealisasikan. Malah beredar kabar burung bahwa gerakan mahasiswa di bawah agenda paham komunis.
Tragedi Trisakti menjadi saksi nyata tindak represif pemerintah. Tepat tanggal 12 Mei 1998, gerombolan mahasiswa turun ke jalan berdemonstrasi menuntut agar Suharto lengser dari pemerintahannya.
Tidak hanya mahasiswa, namun masyarakat sipil umum pun turut andil dalam gebrakan di hari itu. Selang beberapa saat, sangat disayangkan, tindakan brutal aparat dengan gas air mata mulai ditembakkan secara membabi buta ke arah demonstran. Kericuhan tidak terelakkan, pelurupun ditembakkan ke arah mahasiswa dan masyarakat sipil.
Tragedi Trisakti menelan nyawa empat orang yang namanya tidak luput dari ingatan hingga kini, yakni Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur), Hafidhin Royan (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Teknik Sipil), Hery Hartanto (Fakultas Teknologi Industri), dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi).
Mereka-mereka yang berjuang untuk keadilan berakhir dengan peluru bertameng perlindungan. Wujud nyata tindakan aparat yang benar-benar menindas, menginjak, dan menendang mereka yang memperjuangkan keadilannya.
Luka yang dirasakan para korban, keluarga, dan segenap mereka yang ada di sana masih menganga lebar hingga kini. Mereka yang ada di lapangan telah diadili namun pertanyaan tak berakhir di sana. Korban, keluarga, dan rakyat ingin dalang di balik tragedi ini ditemukan.
Tragedi Kendari
Belum lama ini kembali terjadi tragedi di Kendari. Immawan Randi (21 tahun), mahasiswa Universitas Halu Oleo, meninggal dunia akibat peluru yang ditembakkan aparat berakhir menembus dadanya.
Sementara itu rekan satu kampus Immawan, yakni Yusuf Kardawi (19 tahun), juga meninggal dunia setelah mengalami luka tembak dan dirawat instensif di rumah sakit.
Kekerasan aparat lagi dan lagi berujung korban luka atau korban jiwa. Padahal, kekerasan terhadap aktivis mahasiswa yang terjadi di masa lalu hingga saat ini masih belum menemui titik terang. Bahkan, tampaknya tidak ada itikad baik dalam rangka mencari titik itu.
Tindak kekerasan oleh aparat menyebabkan hilangnya rasa percaya masyarakat terhadap hukum dan pemerintah. Alih-alih menertibkan, justru menimbulkan kekacauan dan gebrakan massa yang lebih chaotic lagi.
Deretan peristiwa dan kejadian barang tentu tidak akan terlupakan begitu saja. Tindak represif aparat kian menjadi-jadi. Mengapa hal demikian terjadi? Saya pikir telinga-telinga para pejabat negeri ini tidak kurang mendengar jeritan rakyat kecilnya.
Dapat kita saksikan kematian saudara-saudara kita di Kabupaten Konawe Kepulauan (Pulau Wawonii), Sulawesi Tenggara (Sultra). Apa yang terjadi hingga menyebabkan ribuan warga yang mendiami pulau itu, berbondong-bondong ke Kota Kendari? Untuk apa mereka berunjuk rasa di Kantor Gubernur Sultra?
Tentu saja demi mempertahankan haknya untuk menjaga ekosistem mereka. Mereka tidak mau lahan-lahan mereka dan tambang yang ada di sana dihancurkan. Mereka tidak mau kehancuran ekosistem itu membunuh mereka, keluarga mereka, dan keturunan-keturunan mereka.
Mereka ingin menjaga perkebunan-perkebunan mereka, karena mereka hidup dan makan dari hasil perkebunan mereka. Mereka sadar bahwa nikel tidak lebih bergizi dari hasil perkebunan mereka.
Apa pemerintah akan terus membiarkan dan mempersilakan investor datang tanpa adanya regulasi yang jelas dan pro kepentingan bersama?
Regulasi yang dapat memastikan perekonomian berkembang sekaligus menjamin keselamatan dan keberlangsungan hidup rakyat tidak terganggu.
Sayangnya, telinga pemerintah dan wakil rakyat seolah telah pekak mendengar suara dan jeritan masyarakat. Mereka lebih sudi mengabaikan tangisan rakyat daripada mencegah rakyat menjadi korban siksa korporat.
Wajar jika telinga kalian di pekakkan oleh teriakan bahwa “Pemerintah abai!!” dan “Pemerintahan merampas hak kami”. Wajar sekali. Herannya sudah sekeras itu dan sesering itu orang berteriak, tetap juga tidak didengarkan.
Bukannya hukum itu dibuat untuk kepentingan publik? Tapi kenapa hukum di negara ini sibuk melindungi pihak-pihak yang berkuasa? Kelompok mayoritas, korporasi, dan pejabat negara?
Kepentingan rakyat yang tertindas dan butuh dilindungi tidak diakomodasi oleh hukum dan aparat penegaknya. Wahai wakil rakyat di DPR sana, suara siapa yang kalian wakilkan di rapat-rapat mewah kalian itu?
Masyarakat tidak buta dan tuli. Masyarakat tidak abai dan tidak akan lupa dengan segala tindakan pemerintah. Masyarakat terus melihat dan menilai.
Jangan sampai nadi kesabaran itu putus dan kita semua sama-sama kalah; semuanya hancur, yang tersisa tinggal sejarah yang penuh darah dan amarah.
—-
TERBITKAN ARTIKEL ANDA
Silakan kirim artikel pendapat anda untuk diterbitkan di Geolive Sudut Pandang ke: geolive.id@gmail.com | Subject: Sudut Pandang – [Judul artikel] | Lampirkan juga profil singkat dan foto terbaru anda.